Melawan Predator Scopus

Melawan Predator ScopusIlustrasi: Nadia Permatasari/detikcom


Tuntutan menulis di jurnal terindeks Scopus seakan menjadi harga mati. Perguruan Tinggi (PT) didorong untuk mempublikasikan karyanya di jurnal terindeks Scopus dan terindeks yang bereputasi lainnya. Kewajiban itulah yang seringkali menimbulkan masalah. Salah satunya munculnya predator Scopus.

Predator Scopus adalah mereka yang memanfaatkan peluang ini dengan menjadi "biro jasa". Artinya, mereka bisa bertindak sebagai pribadi dan lembaga yang dapat "menjamin" tulisan seorang dosen/peneliti dimuat di jurnal terindeks Scopus.

Mereka masuk melalui jalur resmi maupun tak resmi. Dari jalur resmi saya kira ini yang sangat menyedihkan. Sebuah PT mendatangkan seseorang yang konon mempunyai jaringan di jurnal-jurnal terindeks Scopus. Dia dibayar puluhan juta rupiah setiap bulan. Tidak hanya itu, dia juga masih meminta tambahan kepada dosen yang ingin menerbitkan jurnal terindeks Scopus.
Keberadaannya seakan lebih mulia dibandingkan dengan dosen yang telah berpuluh-puluh tahun mengabdi. Dia mendapat fasilitas gaji fantastis, ruangan yang lebih bagus daripada dosen tetap, dan segala fasilitas lainnya. PT itu berharap dengan hadirnya sang juru selamat Scopus itu, kampusnya naik peringkat kelas dunia berdasarkan Quacquarelli Symonds (QS) World University Ranking.

Keberadaan seseorang yang dibayar langsung oleh PT itu sungguh menyesakkan. Demi reputasi dan keinginan untuk naik peringkat dan mendapatkan pengakuan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) serta dari luar mereka mau membayar berapa pun. Ironisnya, keberadaan seseorang ini tidak lebih hanya menguras kas kampus. Dia tidak bekerja untuk kepentingan dunia akademik. Melainkan memuaskan nafsu dahaga ketenaran. Betapa tidak, dia selalu datang ke fakultas-fakultas bahkan prodi tertentu untuk menawarkan jasa. Semua pembicaraan berujung pada uang.

Kerja akademik dari hasil penelitian luntur begitu saja saat dia datang menawarkan proposal dapat dimuat di jurnal ini dan itu. Kerja akademik riset ilmiah pun seakan tidak berguna saat tidak dikirim dan dimuat di jurnal terindeks Scopus. Indeks Scopus seakan menjadi tuhan bagi dunia akademik saat ini. Bahkan banyak dosen kemudian berkisah "lebih mudah masuk surga dibandingkan masuk Scopus".

Cerita lain dari seorang teman yang kampusnya menggunakan biro jasa Scopus adalah dia diminta sekian juta untuk editing, sekian juta untuk submit, sekian juta untuk cek plagiarisme di Turnitin (website pendeteksi plagiarisme). Padahal di kampus kami menggunakan Turnitin gratis. Dia harus mengeluarkan Rp 1.500.000 untuk cek keaslian tulisannya. Saya sampaikan ke dia, "Kirim tulisanmu ke saya, saya akan cek di kampus, gratis."

Ironisnya, hal tersebut diamini oleh beberapa dosen yang telah terobsesi dengan Scopus. Bahkan, seseorang yang ingin segera meraih guru besar pun tergiur untuk memanfaatkan jasa biro tersebut. Padahal biro jasa itu belum tentu mampu menjamin setiap tulisan kita dimuat di jurnal terindeks bereputasi.

Benalu Akademik
Keberadaan mereka adalah benalu bagi dunia akademik. Kampus harus berani tegas mengusir mereka dari dunia akademik. Kampus harus bersih dari para predator Scopus itu. Uang puluhan juta rupiah itu ada baiknya digunakan untuk meningkat kualitas riset dan atau membiayai penelitian agar lebih serius (bermakna bagi masyarakat).

Kualitas riset menjadi hal utama untuk publikasi bereputasi. Tanpa riset yang bagus dan menemukan kebaruan (novelty) akan sulit bersaing dengan penulis lain. Pembudayaan tradisi riset tersistem dan cara penulisan yang memadai menjadi kata kunci penting dalam publikasi ilmiah.

Lebih lanjut, kampus perlu mandiri dalam mengelola aset risetnya. Artinya, kampus perlu mengindentifikasi kualitas penelitian dosennya. Memasukkan ke jurnal terindeks Scopus bukan perkara yang sulit. Asalkan sesuai dengan focus and scope yang diminta dan panduan penulisan, maka seseorang mempunyai peluang yang sama dimuat di sana.

Menggunakan biro jasa/predator Scopus juga merupakan pelecehan kelembagaan dunia akademik. Pasalnya, setiap orang dapat mengakses jurnal-jurnal yang telah terindeks di web Scopus.com dan atau Scimago.com. Semua data sudah lengkap di sana. Website itu dapat diakses di mana saja dan kapan saja. Seseorang dapat memilih jurnal sesuai risetnya.

Indeksasi Mandiri

Oleh karena itu, pemerintah ada baiknya tidak terlalu silau dengan pemeringkatan dunia. Pemerintah perlu keluar dari jebakan predator Scopus dengan membangun indeksasi yang baik. SINTA (Science and Technology Index) 2 yang kini terus berbenah saya kira menjadi awal yang baik agar dunia akademik tidak diperkosa oleh sindikasi uang. Artinya, dengan membangun indeksasi sendiri (mandiri), seseorang tidak harus menggadaikan kehormatan dan martabatnya demi dimuat di jurnal terindeks Scopus dengan bantuan para predator.

Predator Scopus kini telah masuk ke banyak universitas. Mereka datang berwajah malaikat, padahal mereka adalah iblis. Mereka tidak sedang membantu mengangkat derajat dunia akademik. Mereka sedang memainkan kelemahan ini untuk menumpuk rupiah. Orientasi mereka bukan untuk mewartakan temuan ilmiah kepada masyarakat dan meneguhkan kontribusi dunia akademik pada kehidupan masyarakat luas. Namun, mereka sedang ingin menguras uang dosen yang gajinya tidak besar untuk memuaskan dahaga termuat di jurnal terindeks Scopus.

Pada akhirnya, dunia akademik perlu segera sadar dan bangkit. Artinya, dunia akademik perlu menyelamatkan diri dari gempuran jejaring predator Scopus. Predator Scopus hanya akan mengotori wajah kajian ilmiah/penelitian ilmiah. Mereka tidak sedang membawa kajian akademis kepada khalayak luas. Namun, mereka hanya memanfaatkan keluguan para dosen dan pejabat di kampus demi kepentingan uang.



sumber: https://news.detik.com/kolom/d-4477231/melawan-predator-scopus
Share:

Arsip Blog

Recent Posts