Anita Chairul Tanjung Mengisi Kemerdekaan di Tapal Batas


Anita Chairul Tanjung Mengisi Kemerdekaan di Tapal BatasKetua CT Arsa Foundation, Anita Ratnasari Tanjung (Dok CT Arsa Foundation)
Jakarta - Perayaan HUT Kemerdekaan ke-74 Indonesia segera dirayakan. Kemerdekaan dari belenggu kemiskinan terus berusaha diwujudkan di mana-mana, tak terkecuali di tapal batas negara.

CT Arsa Foundation bergerak ke garis terdepan, mengisi kemerdekaan dengan cara membantu masyarakat setempat agar dapat menikmati hidup sebagai warga Indonesia yang merdeka.

"Sesuai dengan visi CT Arsa Foundation, memutus mata rantai kemiskinan dengan pendidikan berkualitas dan kesehatan yang optimal, kunjungan kali ini memilih sekolah-sekolah yang berada di pedalaman Indonesia," kata pendiri dan Ketua CT Arsa Foundation, Anita Ratnasari Tanjung, Jumat (16/8/2019).








Langkah nyata telah dilakukan. Anita mengajak putranya, Putra Tanjung dan tim untuk mengunjungi SDN Loemanu yang berada di desa Nunuana, Amfoang Timur, Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 8 Agusutus 2019.

Lokasi yang berada di kawasan perbatasan RI-Timor Leste ini berjarak kurang lebih 10 jam perjalanan darat dari Kupang, dengan melintasi ratusan sungai. Dengan bantuan Korem 161/Wirasakti, perjalanan dilakukan menggunakan helicopter selama 45 menit, dan dilanjutkan perjalanan darat selama satu jam menuju lokasi.

Anita beserta tim melanjutkan perjalanan menuju SDN 2 Lelogama, Amfoang Selatan, Kupang, yang berjarak tempuh sekitar 4,5 jam perjalanan darat dari Kupang.

Ini adalah perjalanan kedua bagi Anita Ratnasari Tanjung, setelah sebelumnya berkunjung untuk membangun sekolah yang kondisinya memprihatinkan.


Kunjungan berakhir di tanggal 9 Agustus 2019, ke SDN Reda Meter, Sumba Barat Daya. Sekolah ini juga dibangun CT Arsa Foundation dua tahun lalu. Bilik bambu, kini menjadi tempat nyaman anak-anak menuntut ilmu.

"Pendidikan adalah kunci sukses untuk kita bisa maju. Anak-anak ini adalah generasi penerus bangsa, yang harus dididik semaksimal dan sebaik mungkin, sehingga mereka dapat mencapai cita-citanya," ucap Anita saat sambutan di tengah siswa, guru, dan masyarakat sekitar.

Kunjungan Anita Ratnasari Tanjung ke berbagai pelosok nusantara, membuka fakta bahwa standar pendidikan Indonesia belumlah merata. Pendidikan di daerah tertinggal masih sangat tertinggal jauh.


Upaya lainnya yang dilakukan adalah dengan memberikan motivasi dan semangat, agar mereka memiliki daya juang untuk belajar giat, berusaha keras untuk dapat mencapai cita-cita mereka sehingga mereka bisa keluar dari lingkaran kemiskinan

Perhatian lain juga bisa dilakukan dengan mendukung fasilitas teknologi di daerah tertinggal, agar bisa melakukan adaptasi .

Kondisi daerah tertinggal diperparah dengan terbatasnya pasokan listrik dan ketersediaan air bersih. Kedua hal penting ini kiranya menjadi perhatian khusus para pejabat terkait, agar bisa membangun daerah tertinggal menjadi lebih layak dan baik untuk kehidupan mereka.

Kemerdekaan Indonesia, menjadi hak siapapun, termasuk anak-anak Indonesia di pedalaman. Mereka berhak mendapakan pendidikan yang berkualitas dan pelayanan kesehatan yang optimal, karena merekalah generasi penerus bangsa, agen perubahan untuk nasib bangsa Indonesia lebih baik.

sumber: https://news.detik.com/berita/d-4667894/anita-chairul-tanjung-mengisi-kemerdekaan-di-tapal-batas
Share:

JK: RI Punya 4.500 Universitas, Inovasi Teknologi Baru Nomor 85

JK: RI Punya 4.500 Universitas, Inovasi Teknologi Baru Nomor 85Wapres Jusuf Kalla di Harteknas Bali (Foto: Noval Dhwinuari/detikcom)
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyebut Indonesia masih tertinggal dalam hal inovasi teknologi. Menurut JK, negara sebesar Indonesia dengan 4.500 universitas baru di urutan ke-85 dalam hal inovasi teknologi.

"Negara sebesar ini, yang mempunyai universitas 4.500, inovasinya (teknologi) baru nomor 85," kata JK dalam sambutannya di acara peringatan Hari Teknologi Nasional (Hakteknas) 2019 di Lapangan Puputan Margarana, Niti Mandala Renon, Kota Denpasar, Bali, Rabu (28/8/2019).

JK mengungkapkan, Indonesia masih tertinggal banyak jika dibanding negara lain dalam hal inovasi teknologi. Dari 120 peringkat negara dalam hal inovasi teknologi yang diberikan Global Inovation Index, Indonesia berada di urutan 85.

"Sementara Singapura nomor 5, Malaysia nomor 30. Kita hanya mengalahkan Kamboja. Negara yang lebih kecil dan baru saja mau ingin maju," ujarnya.

Untuk itu Indonesia dikatakan JK masih perlu bekerja keras untuk meningkatkan inovasi teknologi. Dia juga berharap Indonesia dapat belajar dari negara lain yang cepat berkembang dalam hal inovasi teknologi.

"China memiliki kemajuan teknologi yang sangat cepat. Pertama meniru, kedua memperbaiki, ketiga inovasi. Itu langkah-langkah yang dibuat oleh China. Dan juga Jepang pada waktu itu. Meniru, meningkatkan inovasi," imbuhnya.

Menurut JK tidak ada negara di dunia yang langsung maju karena melakukan inovasi teknologi sendiri. Hal ini karena teknologi merupakan sesuatu yang terus berkembang.

"Karena itu tidak bisa dimulai dari nol. Terlalu lama (jika harus mulai dari nol)," imbuhnya.

sumber: https://news.detik.com/berita/d-4684125/jk-ri-punya-4500-universitas-inovasi-teknologi-baru-nomor-85?single=1
Share:

Ketua DPR: Peningkatan Kualitas Kampus Tantangan Terbesar Pendidikan

Ketua DPR: Peningkatan Kualitas Kampus Tantangan Terbesar PendidikanBamsoet saat menjadi Keynote Speaker dalam Seminar Nasional dengan tema 'Peranan DPR RI dalam Pengawasan Pelaksanaan Pendidikan Tinggi di Indonesia', di Jakarta, Sabtu (31/8/2019). Foto: DOK. Istimewa
Ketua DPR Bambang Soesatyo menyebut masih tertinggalnya kualitas pendidikan tinggi di Indonesia dibandingkan negara lain di dunia, bahkan di Asia. Hal ini menjadi tantangan terbesar yang harus diselesaikan.

Mengutip data QS World University Ranking, Bamsoet menyebut Indonesia hanya berhasil 'mengirimkan' 9 universitas terbaik. Universitas Indonesia berada di peringkat ke-296, Universitas Gadjah Mada di peringkat ke-320, disusul Institut Teknologi Bandung di peringkat ke-331.

"Padahal dari segi anggaran, DPR RI telah mengalokasikan 20 persen dana APBN untuk sektor pendidikan, sesuai amanah UUD 1945. Di APBN 2020 ini jumlahnya mencapai Rp 505,8 triliun atau meningkat 2,7 persen dibanding APBN 2019 lalu sebesar Rp 492,5 triliun. Managemen pengelolaan dana pendidikan tersebut yang perlu diperbaiki pemerintah agar bisa mendongkrak kualitas pendidikan, termasuk pendidikan tinggi," ujar Bamsoet saat menjadi Keynote Speaker dalam Seminar Nasional dengan tema 'Peranan DPR RI dalam Pengawasan Pelaksanaan Pendidikan Tinggi di Indonesia', di Jakarta, Sabtu (31/8/2019).


Bamsoet mengatakan pada APBN 2019, DPR pemerintah sudah menganggarkan dana abadi riset, dimulai dengan Rp 990 miliar dan akan ditingkatkan secara bertahap. Secara berkala, DPR dan pemerintah menurutnya juga sudah menaikkan anggaran dana abadi pendidikan dari Rp 35 triliun menjadi Rp 55 triliun, dengan target mencapai Rp 100 triliun.


Bamsoet saat menjadi Keynote Speaker dalam Seminar Nasional dengan tema 'Peranan DPR RI dalam Pengawasan Pelaksanaan Pendidikan Tinggi di Indonesia', di Jakarta, Sabtu (31/8/2019).Bamsoet saat menjadi Keynote Speaker dalam Seminar Nasional dengan tema 'Peranan DPR RI dalam Pengawasan Pelaksanaan Pendidikan Tinggi di Indonesia', di Jakarta, Sabtu (31/8/2019). Foto: DOK. Istimewa


"DPR RI dan pemerintah juga sepakat mulai APBN 2020 ini ada pengalokasian dana abadi kebudayaan untuk memperkuat sektor pendidikan. Jumlahnya mencapai Rp 5 triliun dan akan bisa digunakan mulai tahun 2021. Melalui pemanfaatan anggaran secara tepat guna dan tepat sasaran, diharapkan akan simultan dengan peningkatan daya saing sumber daya manusia Indonesia," papar Bamsoet.

Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini mengatakan DPR melalui Komisi X membuat berbagai Panita Kerja (Panja) untuk fungsi pengawasan. Panja tersebut di antaranya Panja Kelembagaan dan Akreditasi Perguruan Tinggi, Panja Standar Nasional Pendidikan Perguruan Tinggi, dan Panja Evaluasi Pendidikan Tinggi.

"Melalui Panja-Panja tersebut DPR RI melakukan kunjungan kerja, rapat, serta berbagai kegiatan diskusi baik dengan kementerian/lembaga, perguruan tinggi, maupun asosiasi terkait untuk memahami permasalahan, menyerap aspirasi, serta bersama-sama mencari solusi terkait permasalahan yang terjadi menyangkut penyelenggaraan pendidikan tinggi," papar Bamsoet.

Bamsoet menegaskan, fokus yang menjadi sorotan saat ini adalah permasalahan tata kelola dan mutu perguruan tinggi. Beberapa masalah yang dihadapi antara lain lemahnya kelembagaan, rendahnya status akreditasi program studi, rendahnya mutu program studi, serta masalah hambatan pelaksanaan kebijakan dan target pendidikan yang dilaksanakan oleh Kemenristekdikti.

"Berkaitan dengan hal tersebut Panja Kelembagaan dan Akreditasi Program Studi Perguruan Tinggi mendorong Kemenristekdikti untuk memperbaiki tata kelola dan kualitas perguruan tinggi, agar menjadi perguruan tinggi yang unggul dan memiliki daya saing dalam ikut melaksanakan percepatan pembangunan. Kemenristekdikti juga harus segera menentukan fokus peningkatan mutu, daya saing, akses, tata kelola, dan relevansi agar dapat melakukan percepatan peningkatan kualitas perguruan tinggi," imbuh Bamsoet.

sumber: https://news.detik.com/berita/d-4688194/ketua-dpr-peningkatan-kualitas-kampus-tantangan-terbesar-pendidikan/2
Share:

Pendidikan: Aggaran Jumbo, Hasil Minim

Pendidikan: Aggaran Jumbo, Hasil MinimSebuah SD di Bogor (Foto: Lamhot Aritonang)

Baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali mengeluhkan penggunaan anggaran pendidikan Indonesia yang dinilai minim hasil. Keluhan ini tentu bukan tanpa sebab, melihat pemerintah telah mengalokasikan dana yang cukup besar untuk pendidikan di Indonesia yaitu sebesar 20% dari APBN dengan jumlah dana yang terus bertambah setiap tahunnya.

Dalam 5 tahun terakhir, anggaran pendidikan selalu di atas Rp 400 triliun dengan jumlah tertinggi pada 2019 sebesar Rp 492,5 triliun. Angka ini bahkan lebih tinggi dibandingkan alokasi APBN 2019 untuk infrastruktur yaitu sebesar Rp 415 triliun. Hal ini menunjukkan betapa pemerintah percaya bahwa pendidikan adalah investasi terbaik bangsa ini.
Indonesia vs Vietnam
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam suatu wawancara menyatakan bahwa Indonesia dan Vietnam sama-sama mengalokasikan anggaran sebesar 20% dari total APBN untuk pendidikan. Namun, kualitas pendidikan kita masih jauh di bawah Vietnam. Pada 2015, negara-negara peserta The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) melaksanakan penilaian atas sistem pendidikan dari 70 negara peserta. Hasilnya, Indonesia berada pada posisi ke-62, sangat jauh di bawah negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam (posisi ke-8) dan Singapura (posisi pertama).

Programme for International Students Assessment atau lebih sering dikenal dengan PISA adalah sebuah program penilaian tiga tahunan yang diselenggarakan oleh OECD untuk menilai kualitas, kemerataan, dan efektivitas sistem pendidikan di suatu negara. Penilaian tersebut dilakukan dengan melakukan survei kemampuan siswa-siswi berusia 15 tahun dalam bidang sains, matematika, dan literasi.

Rendahnya peringkat Indonesia berdasarkan PISA membuktikan bahwa usaha meningkatkan mutu pendidikan tidak sesederhana menambah proporsi dana dalam APBN. Karena seberapa pun banyaknya dana yang dikucurkan untuk pendidikan, jika tidak ada perencanaan dan strategi yang baik, maka dana tersebut tidak akan pernah cukup dan bahkan menjadi sia-sia.
Sistem Pendidikan Vietnam
Perhatian yang besar terhadap pendidikan telah ditunjukkan Vietnam sejak lama. Berdasarkan Laporan Hasil Kunjungan Kerja Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional ke Vietnam pada tahun 2000, anggaran pendidikan Vietnam pada saat itu 15% dari APBN, di kala anggaran pendidikan Indonesia masih sebesar 3,8% dari APBN. Mereka percaya bahwa pengembangan sistem pendidikan merupakan sebuah usaha jangka panjang yang harus dilakukan secara berkesinambungan.

Hal itu terlihat dari filosofi bangsa Vietnam yang menyatakan, "Menanam pohon yang kokoh diperlukan sepuluh tahun, membangun manusia berkualitas diperlukan waktu beratus tahun." Mereka pun tak berhenti untuk melakukan pembaharuan dan pengembangan sistem pendidikan agar sejalan dengan usaha memajukan sektor industri, modernisasi, dan integrasi internasional.
Keberhasilan sistem pendidikan di Vietnam ditentukan oleh output siswanya, yaitu moral, kecerdasan, kesehatan, dan bakat. Untuk dapat mencapai output tersebut, Vietnam dikenal dengan tiga fokus utama pendidikannya. Pertama, kepemimpinan yang berkomitmen. Pemimpin negara berkomitmen dalam membangun SDM melalui pendidikan yang visioner dan sinkron dengan rencana strategis negara.

Kedua, kurikulum yang berfokus. Kurikulum dibangun untuk menghasilkan siswa-siswi yang proaktif dan kreatif. Pola pendidikan dengan cara menghafal dihapuskan dan digantikan dengan pemahaman konsep. Selain itu, pendidikan juga menjadi sarana penetrasi nilai-nilai nasional dan lokal seperti etika, moral, patriotisme, unitycommunity spirit, dan tradisi.

Ketiga, investasi pada pengembangan guru. Guru menjadi kunci utama dalam proses pengembangan sistem pendidikan. Oleh sebab itu, Vietnam bersungguh-sungguh dalam memberikan pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Vietnam juga memperhatikan kesejahteraan guru dengan memberikan gaji yang relatif lebih tinggi dari profesi lain, dengan insentif yang berbeda bagi guru di kota dengan guru di pelosok.
Tiga Masalah Besar
Dari berbagai hal yang harus segera dibenahi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada tiga masalah terbesar yang saat ini dihadapi dunia pendidikan Indonesia. Yaitu operasional sekolah, keterbatasan guru, dan kesejahteraan guru.

Saat ini, operasional sekolah dibiayai oleh pemerintah melalui Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sehingga sekolah tidak diperbolehkan lagi melakukan pungutan dari siswa. Dana BOS ini disalurkan ke sekolah setiap tahun berdasarkan jumlah siswa dan tingkatan sekolah.

Berdasarkan Permendikbud Nomor 3 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler, SD menerima Dana BOS sebesar Rp 800.000,00 per siswa per tahun, SMP sebesar Rp 1.000.000,00 per siswa per tahun, SMA sebesar Rp 1.400.000,00 per siswa per tahun, SMK sebesar Rp 1.600.000,00 per siswa per tahun dan SLB sebesar Rp 2.000.000,00 per siswa per tahun.

Program Dana BOS ini tentu disambut baik oleh sekolah dan para orangtua siswa karena program ini memberi kesempatan bagi siswa kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan setara. Namun, dalam praktiknya, sekolah-sekolah masih mengalami kesulitan dalam melakukan pengelolaan keuangan Dana BOS tersebut sehingga tujuan utama Dana BOS untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia tidak tercapai.

Beberapa permasalahan dalam pengelolaan keuangan Dana BOS; pertama, pencairan yang tidak tepat waktu mengakibatkan sekolah kesulitan untuk membiayai kebutuhan operasional sekolah. Hal ini mengakibatkan sekolah terpaksa menggunakan uang pribadi Kepala Sekolah atau Wakil Kepala Sekolah untuk menanggulangi kebutuhan operasional sekolah sebelum Dana BOS diterima.

Kedua, pelaporan penggunaan Dana BOS oleh sekolah harus dilaksanakan secara tepat waktu meskipun pencairan dana tersebut terlambat. Bendahara Dana BOS yang biasanya merangkap sebagai guru pun harus mampu menyusun pertanggungjawaban Dana BOS dalam waktu yang singkat. Hal ini tentu saja berpotensi mengganggu konsentrasi guru tersebut dan berdampak pada proses belajar mengajar di sekolah.
Ketiga, penetapan jumlah dan pencairan Dana BOS adalah sesuai dengan tahun anggaran, sedangkan penerimaan siswa baru mengikuti tahun ajaran. Hal ini mengakibatkan perubahan jumlah siswa pada bulan Juni/Juli. Sekolah hanya diperbolehkan untuk melakukan perubahan data siswa sebanyak satu kali yaitu pada triwulan 3 dan 4 tahun anggaran. Namun, penambahan jumlah siswa selain triwulan 3 dan 4 tidak diimbangi dengan penambahan alokasi Dana BOS untuk sekolah.

Keempat, sejak 2015 jumlah Dana BOS yang diterima sekolah per siswa per tahun adalah sama. Sebagai contoh, sejak2015 hingga Permendikbud baru tentang Dana BOS diterbitkan pada 2019, SMP hanya menerima Dana BOS sebesar Rp 1.000.000,00 per siswa per tahun. Penurunan jumlah siswa mengakibatkan penurunan jumlah total Dana BOS yang diterima sekolah sedangkan kebutuhan operasional sekolah tidak turut berkurang, justru cenderung bertambah dari tahun ke tahun.

Selain itu, keterbatasan guru dan rendahnya tingkat kesejahteraan guru juga menjadi PR yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah melalui Kemendikbud dan Kementerian/Lembaga lain yang terkait. Mengutip pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, 40.000 orang guru pensiun setiap tahun sedangkan jumlah guru yang lulus tes CPNS tidak mampu menutupi jumlah kekurangan guru. Akibatnya, sekolah melakukan rekrutmen guru honorer dengan penghasilan yang jauh di bawah UMR.

Jumlah guru yang terbatas dengan penghasilan yang minim tentu berpengaruh terhadap kualitas dan komitmen guru dalam mencerdaskan bangsa. Oleh sebab itu, jika Indonesia percaya bahwa pendidikan adalah investasi bangsa, pemerintah harus segera merancang dan menerapkan suatu sistem rekrutmen, pelatihan dan penggajian guru yang menjamin ketersediaan guru, kesejahteraan guru dan peningkatan kualitas pendidikan bangsa.

Share:

Menanti "Ruang Guru" versi Pemerintah

Menanti Ruang Guru versi PemerintahFoto: Grandyos Zafna

Di sekolah kami, siswa dilarang membawa gawai ke sekolah. Ada dampak positifnya. Siswa paling tidak jadi fokus pada penjelasan gurunya. Namun, ada juga dampak negatifnya: siswa dijauhkan dari teknologi. Padahal, dengan gawai, siswa bisa mencari informasi alternatif selain dari guru. Sebab, bagaimana pun, informasi jauh lebih melimpah daripada apa yang ada di batang kepala guru. Alangkah membosankan dan kakunya jika ruang kelas dimonopoli oleh guru. Sudah bukan saatnya lagi sistem pendidikan dengan sistem ceramah.
Namun, menyerahkan ruang kelas ke siswa bukan perkara gampang. Siswa sering sangat gagap jika disuruh berdiskusi satu sama lain. "Kami semua tak tahu, apa yang akan kami diskusikan," kurang lebih begitu mereka membela diri. Mereka benar. Maka, maaf-maaf saja, saya sering kali menganggap sepele metode diskusi. Alih-alih efektif, sistem ini kadang malah membuat ruang kelas jadi heboh. Dampaknya buruk: ruang sebelah terganggu, fokus pun terganggu, target pembelajaran pun bisa melempem jauh.
Nah, semestinya, ketidaktahuan siswa ini bisa diatasi apabila mereka bisa mencari informasi dari gawai. Setidaknya, mereka punya bahan awal untuk didiskusikan. Maksud saya, membawa gawai ke sekolah bagi siswa tak seharusnya lagi dilarang. Yang perlu adalah kontrol penuh dari guru agar penggunaan gawai itu tepat guna pada waktu pembelajaran. Bagaimana pun, saat ini segalanya seperti sudah terkemas pada gawai. Mencari makan, tekan tombol gawai; mau berangkat kerja, pilih menu di gawai; kangen pada orang jauh, klik aplikasi di gawai; tersesat di tempat yang asing, bertanyalah pada gawai.
Belum Menyentuh
Gawai menjadi jawaban atas segala kegelisahan kita saat ini. Begitu pun dengan belajar, apa pun definisi belajar itu, gawai bisa jadi jawaban. Mencari informasi, tinggal bertanya pada Google. Atau, mau tahu trik-trik mendetail, tinggal berselancar di Youtube. Barangkali itu semua masih kurang interaktif. Namun, teknologi selalu berkembang pesat. Kini, sudah ada aplikasi terbaru yang membuat pembelajaran jauh lebih kolaboratif dan interaktif. Teman-teman guru yang mau ikut sertifikasi baru-baru ini sudah belajar dari jarak jauh.
Kelasnya dibuat dalam bentuk maya. Tetapi, kelas itu tak benar-benar maya. Mereka saling bertukar pikiran di ruang kelas itu. Kini, aplikasi belajar yang lebih canggih juga sudah muncul meski dalam bentuk bimbel: Ruang Guru. Masih ada beberapa aplikasi lain. Namun, Ruang Guru ini begitu menarik perhatian saya. Pasalnya, ia hadir di hadapan anak-anak kita melalui iklan dan talk show yang mewah di televisi-televisi nasional. Ruang Guru, tak pelak lagi, ibarat produk pada umumnya. Perayaan ulang tahunnya dibuat dengan menghadirkan banyak bintang tamu sekaligus promosi besar-besaran.
Konon, siswa Ruang Guru sudah hampir menyentuh angka puluhan juta siswa. Dan, yang lebih hebat lagi, Ruang Guru juga sudah berhasil melakukan kerja sama dengan 32 dari 34 pemerintah provinsi dan lebih dari 326 pemerintah kota. Maka, jika kini Ruang Guru sudah melatih dan merekrut lebih dari 200.000-an guru, itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Pertanyaannya, apakah ini akan membuat sistem pendidikan kita mengalami disrupsi? Pertanyaan ini sangat masuk akal. Banyak fakta sudah ditunjukkan kepada kita.
Media cetak, misalnya, mulai bertumbangan, transportasi manual sudah ditinggalkan, ritel sudah kesulitan, dan masih banyak lagi. Itu semua karena kini sudah terkemas di gawai. Sekali lagi, pertanyaannya: apakah hal serupa akan terjadi pada pendidikan kita? Kalau terjadi, saya harus mengatakan bahwa ini adalah berita kemunduran dari sistem pendidikan kita. Harus dicatat, saya tak sedang mengutuki kehadiran Ruang Guru. Saya tahu, niat Ruang Guru suci. Paling tidak, pada awal berdirinya, keadaan pendidikan kita begitu menggetirkan.
Peringkat kita di PISA sangat buruk. Dirinci lagi, pada bidang Matematika dan Sains, kita berada di nomor 65. Di ranah literasi, kita jauh lebih mengkhawatirkan lagi. Lebih dari separuh responden kita mendapat skor di bawah level 1 (level paling bawah). Risau atas fakta ini, Belva Devara (alumnus dari dua perguruan tinggi terkemuka AS: Harfard University dan Stanford University) lantas mendirikan Ruang Guru. Motivasinya, Ruang Guru harus hadir mempercepat laju pendidikan. Sebab, konon, menurut survei, untuk bisa membuat siswa Jakarta (bukan Indonesia) agar sama dengan negara-negara Eropa, perlu waktu 128 tahun.
Sayangnya, niat Ruang Guru ini sama sekali belum menyentuh akar masalah pendidikan kita, apalagi membereskannya. Fakta saat ini ketimpangan pendidikan kita teramat tinggi, terutama dalam pembiayaan pendidikan meski pada saat yang sama, kucuran dana untuk pendidikan juga semakin tinggi. Periksalah hasil penelitian Badan Pusat Statistik di mana sebanyak 4,9 juta anak miskin di Indonesia belum mampu mengakses pendidikan. Ini menjadi ironi tersendiri. Betapa tidak, di saat anggaran pendidikan tinggi, di saat itu pula orang terpinggirkan semakin jauh terpinggirkan.
Ketimpangan Akses
Ini bukan main-main. Sekali lagi, periksalah data dari Unicef: hampir setengah dari anggaran pendidikan Indonesia hanya dinikmati sekitar 10 persen penduduk. Bahkan, sekitar 20 persen siswa kaya menerima 18 kali lebih banyak aneka fasilitas daripada 20 persen siswa miskin. Sampai di titik ini saya pikir sudah jelas bahwa akar masalah pendidikan kita adalah ketimpangan akses pendidikan. Jadi, jika merunut pada data di atas, kehadiran Ruang Guru (karena bagaimanapun, Ruang Guru hanyalah bisnis yang kebetulan mengambil label pendidikan), tak akan banyak membantu ketimpangan ini.
Karena itu, selain bisnis, pemerintah kiranya perlu menghadirkan aplikasi serupa yang dikhususkan kehadirannya bagi orang-orang terpencil. Ide ini barangkali konyol. Tetapi, ide ini (meski tak sama persis) pernah diterapkan Prof. Sugata Mitra di New Delhi. Ia melubangi tembok kampusnya dan menanamkan layar monitor serta papan ketik pada tembok. Hasilnya? Ajaib! Meski daerah itu kumuh, namun anak di daerah kumuh itu dapat mengoperasikan komputer secara perlahan, bahkan tanpa pengajar. Artinya apa? Ternyata manusia, jika memiliki akses, akan mampu membelajarkan dirinya sendiri.

Arti yang lebih jauh, kekurangan guru bermutu tak serta-merta menghilangkan pembelajaran bermutu selama masih ada akses yang bermutu. Dan, jangan salah, penerapan Hole-in-the-wall itu konon sudah banyak diterapkan di India dan Afrika Selatan. Jadi, adalah tak mustahil jika pemerintah membuat "Ruang Guru" baru khusus untuk pengabdian dan edukasi, bukan bisnis. Bagaimanapun, karena kini teknologi semakin pesat, pemerintah perlu menghadirkan teknologi ke tengah-tengah masyarakat. Katakanlah ini semacam literasi digital bagi warga-warga terpinggirkan. Kapankah?

Share:

Polandia Tawarkan Pendidikan Kelas Dunia Tanpa Terlilit Utang


Polandia Tawarkan Pendidikan Kelas Dunia Tanpa Terlilit Utang Warsawa di Polandia. (Foto: Pixabay/Websi)


Polandia menawarkan pendidikan kelas dunia tanpa terlilit utang seumur hidup seperti pendidikan di luar negeri pada umumnya.

Duta Besar Polandia untuk Indonesia Beata Stoczynska mengatakan pendidikan tinggi di negara lain memiliki biaya besar sehingga Polandia menawarkan alternatif. Menurutnya alternatif itu adalah pendidikan berstandar Eropa dengan akses teknologi yang mutakhir dan biaya pun tak sampai sepersepuluh ongkos pendidikan di AS atau negara Eropa lainnya.

Stoczynska menuturkan bidang yang ditawarkan pun bervariasi untuk menjawab tantangan yang dihadapi Indonesia. Hal itu dimulai dari IT, telekomunikasi, teknik ruang angkasa, navigasi maritim, rekayasa kapal, energi terbarukan, sampai pengelolaan limbah.

Dia juga menyatakan dukungan pendidikan macam ini sebaiknya mendapat sokongan dari pemerintah daerah. Pengusaha pun, kata Stoczynska, dapat berkontribusi dalam hal ini.

"Ada alternatif lain untuk menempuh pendidikan kelas dunia tanpa harus terlilit hutang seumur hidup," katanya. "Biaya pendidikan di Polandia tidak sampai sepersepuluh biaya di negara barat lain," katanya dalam keterangan pers, Minggu (17/3).

Sehingga, kata dia, dengan biaya pendidikan yang sama dengan negara lainnya, maka jumlah calon mahasiswa akan lebih besar untuk mengakses pendidikan di Polandia.

Hasil Nyata


Mantan Duta Besar Indonesia untuk Polandia Peter F. Gontha mengatakan tiap provinsi di Indonesia yang mendirikan beasiswa ke Polandia dapat mengharapkan hasil nyata, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Dia menegaskan dalam waktu 2-3 tahun sejak beasiswa didirikan, lulusan Polandia akan kembali ke kampung halaman membawa ilmu dan pengetahuan mereka.

"Seiring ilmu dan pengetahuan yang terakumulasi tersebut, Indonesia akan mendapatkan peningkatan besar aset sumber daya manusia, yang akan menghasilkan peningkatan pertumbuhan lebih lanjut," kata Peter.

Terkait dengan hal yang berbau Polandia, ada Polska Festival yang digelar pada 18-24 Maret di PIK Avenue, Jakarta Utara. Dalam festival itu, terdapat kesempatan untuk mencicipi makanan maupun minuman dari Polandia, eksibisi foto dan karya seni, serta pemutaran film. Informasi lebih lanjut bisa diakses di tautan www.polskafestival.com.

sumber: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20190317082942-277-377952/polandia-tawarkan-pendidikan-kelas-dunia-tanpa-terlilit-utang  

Share:

Karakter Siswa dan Kesejahteraan Guru Menanti Diulas di Debat


Karakter Siswa dan Kesejahteraan Guru Menanti Diulas di Debat Ilustrasi unjuk rasa guru honorer di depan Istana Merdeka, Jakarta. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Sejumlah persoalan di bidang pendidikan menanti untuk dibahas dalam panggung Debat Cawapres 2019, Minggu (17/3) mendatang. Dari sekian masalah, persoalan karakter siswa dan kesejahteraan guru dianggap jadi prioritas perdebatan nanti.

Andreas Tambah dari Komnas Pendidikan mengatakan isu pertama yang patut disikapi oleh cawapres Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno adalah karakter peserta didik. Sejumlah kasus siswa berani menyerang guru atau staf di lingkungan sekolah banyak bermunculan setahun belakangan dan viral di media sosial.

Andreas menganggap fenomena tersebut cukup mengkhawatirkan. Ia menduga salah satu sebabnya adalah pemilu. Kontestasi politik ini menurutnya mendorong figur penting seperti tokoh masyarakat, politikus, pemuka agama, juga orang tua, menularkan contoh buruk yang mudah ditiru oleh anak-anak.


"Misalkan tokoh agama mengeluarkan kata kasar, kata jorok, mengajarkan melawan pihak lain, ini akan ditangkap anak dengan mudah dan menirunya. Juga politisi dengan mudahnya tanpa memikirkan dampak berkata buruk dan kasar kepada pihak lain," kata Andreas kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (13/3).

Pengamat pendidikan Doni Koesoema punya pendapat serupa soal lingkungan pendidikan yang kian terganggu oleh situasi sosial politik saat ini. Doni mengambil contoh benih paham intoleran dan ekstremis yang perlahan menyusup ke sekolah, dari sekolah menengah sampai pendidikan anak usia dini (PAUD).

Doni mengutip riset Setara Institute pada 2015 yang menemukan 7,6 persen pelajar di DKI Jakarta dan Bandung sepakat dengan paham dan sepak terjang Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Dari riset itu juga ditemukan bahwa 8,5 persen dari 864 responden pelajar sepakat mengganti Pancasila dengan agama tertentu sebagai dasar negara.

"Paham radikal itu sudah masuk tak hanya di perguruan tinggi tapi juga di SD, TK, dan PAUD," ucapnya.

Debat Cawapres, Karakter Siswa dan Kesejahteraan Guru DisorotCawapres 01 Ma'ruf Amin. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Aspek pendidikan yang tak kalah urgen adalah kesejahteraan guru, khususnya guru honorer. Pada November 2018, ribuan karyawan honorer kategori dua (K2) yang mayoritas adalah guru menggelar unjuk rasa menuntut agar pemerintah mengangkat status mereka menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Guru honorer mendesak pemerintah mencabut Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 dan 37 Tahun 2018 yang mensyaratkan pegawai K2 dapat naik sebagai PNS harus berusia di bawah 35 tahun. Mereka juga menolak konsep pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).

Doni memandang polemik guru honorer ini tak bisa dipandang secara hitam-putih. Anggaran dan kualitas guru harus menjadi perhatian para kandidat bila serius ingin memenuhi tuntutan guru honorer di Indonesia yang menurutnya tidak mudah dilakukan.

"Guru honorer kan enggak bisa otomatis diangkat, sementara yang ada itu kualitasnya tidak begitu bagus. Kalau kita angkat semua, makin rusak pendidikan kita. Kalau misalnya diangkat, anggarannya dari mana," kata Doni.

Debat Cawapres, Karakter Siswa dan Kesejahteraan Guru DisorotCawapres 02 Sandiaga Uno. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Presiden Joko Widodo sebelumnya sudah berjanji akan meningkatkan kesejahteraan guru honorer. Capres nomor urut 01 itu menyebut guru honorer punya kesempatan lebih sejahtera dengan mengikuti tes P3K yang digelar Kemenpan-RB.

Dengan program itu, pegawai yang berstatus P3K akan mendapatkan hak penerimaan pendapatan dan tunjangan yang sama dengan pegawai yang berstatus sebagai PNS. Hanya saja pegawai P3K tidak mendapatkan hak tunjangan hari tua.

"Salah satu upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan adalah dengan memberikan kesempatan bagi honorer guru ikut tes P3K. Teknisnya bisa langsung ke Menpan-RB," ucap Jokowi saat kunjungan kerja di Palembang, Sumatra Selatan, pada 25 November 2018 lalu.

Di pihak lain, cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno pernah berjanji hal serupa. Sandi mengklaim selama ini guru TK hingga guru sekolah menengah kurang mendapat perhatian dari masyarakat dan pemerintah.

Kepada ratusan guru TK se-DKI Jakarta, Sandi bahkan berani berjanji guru yang punya utang akan lunas jika Prabowo-Sandi terpilih dalam Pilpres 2019, meskipun ia tak merinci strategi atau program apa yang akan pihaknya tempuh untuk mewujudkan janji itu.

"Insyaallah kalau Indonesia menang, kalau kita terus bersilaturahim rezeki bertambah, penghasilan kita meningkat, dan Insyaallah tahun 2019? Lunas utangnya. 2019 mau ganti presiden apa lunas utangnya? Yang mau dua-duanya angkat tangan? Kalau mau dua-duanya pilih nomor 02," kata Sandi pada Senin (11/3) lalu.


sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190314170915-32-377336/karakter-siswa-dan-kesejahteraan-guru-menanti-diulas-di-debat
Share:

'Link and Match' Jangan Sekadar Lengkapi Mesin Ekonomi


'Link and Match' Jangan Sekadar Lengkapi Mesin Ekonomi Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga).

Debat Pemilihan Presiden 2019 yang dilakukan oleh dua calon wakil presiden menyisakan sejumlah pernyataan menarik di sektor ekonomi. Salah satunya terkait strategi link and match (pengaitan dan pencocokan) antara sektor pendidikan dan dunia usaha demi mengurangi tingkat pengangguran nasional.

Calon Wakil Presiden Nomor Urut 01 Ma'ruf Amin mengaku akan meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui revitalisasi pendidikan. Selanjutnya, mengembangkan latihan dan kursus melalui balai latihan kerja sekaligus memperkenalkan dengan dunia usaha.

Tak hanya itu, Ma'ruf juga mengaku akan mendorong tenaga kerja agar mampu menguasai teknologi digital demi menghadapi revolusi industri 4.0. Jika terpilih, Ma'ruf menjanjikan pemerintah akan melanjutkan perlindungan terhadap tenaga kerja di luar negeri.


"Tenaga kita harus disiapkan agar lebih siap menghadapi tantangan ke depan ten years challenge," ujar Ma'ruf dalam salah satu sesi debat, Minggu (17/3) malam.

Di sisi lain, Calon Wakil Presiden Nomor Urut 02 Sandiaga Uno mengatakan akan mendorong link and match antara dunia pendidikan dan dunia usaha. Hal itu dilakukan untuk mengatasi jumlah pengangguran tinggi, terutama yang berasal dari angkatan muda.

"One stop service Rumah Siap Kerja akan me-link and match keahlian ke dunia usaha," tuturnya.

Menanggapi hal tersebut, Sukamdi, Pakar Tenaga Kerja Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada mengatakan persoalan yang mendasar sejak dulu ialah perencanaan di sektor pendidikan dan dunia usaha memang tidak pernah sejalan beriringan. Kedua sektor memiliki perencanaan masing-masing dan berjalan sendiri-sendiri.

"Contoh paling kelihatan, tidak ada regulasi bidang pendidikan yang didasari pada need assesment kebutuhan tenaga kerjanya seperti apa. Saat ini prodi (program pendidikan) bikin sendiri, tapi ternyata tidak dibutuhkan," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (18/3).

Dia menilai pemerintah kini dihadapkan pada tantangan revolusi industri 4.0 yang membutuhkan respons segera. Salah satu solusi yang tepat ialah dengan melakukan revitalisasi edukasi vokasional.

"Pendidikan kita tertinggal jauh dengan negara tetangga, pemerintah harus benar-benar menggarap sekolah vokasi. Tentu harus melahirkan orang yang punya kompetensi yang dibutuhkan pasar, termasuk merespons revolusi industri 4.0. Itu sangat penting," katanya.

Kendati demikian, Dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada itu memaklumi ketidaksinkronan yang sering terjadi antara dunia pendidikan dan dunia usaha.

Menurut dia, konsep link and match antara kedua sektor menafikkan bahwa sektor pendidikan memiliki fungsi ideal untuk mencerdaskan bangsa, bukan sekadar memenuhi kebutuhan dunia usaha dan memproduksi mur bagi mesin-mesin ekonomi .

"Konsep link and match bukan hanya mencocokkan supply and demand dunia usaha, sehingga tidak harus strict bahwa bidang yang dikembangkan itu yang dibutuhkan pasar," tuturnya.

Sukamdi menambahkan jangan sampai kebijakan link and match antara dunia pendidikan dan dunia usaha menekankan sisi kognitif atau ranah kemampuan berpikir, tetapi tidak ada fokus dari peningkatan sisi afektif berupa sikap dan nilai-nilai kehidupan.

"Jangan sampai kebijakan link and match membuat pendidikan nanti menekankan sisi kognitif tapi afektif-nya tidak ada, nanti akan kacau jadinya," ungkapnya.


sumber: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190318144550-92-378420/link-and-match-jangan-sekadar-lengkapi-mesin-ekonomi
Share:

Mempersiapkan Uang Kuliah Anak Sejak Dini


Mempersiapkan Uang Kuliah Anak Sejak Dini Ilustrasi. (Istockphoto/skynesher)

Hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2019 sudah resmi diumumkan Jumat (22/3) lalu. Meski ujian sudah dilalui, namun kesempatan menempuh pendidikan di kursi perguruan tinggi bisa saja kandas bila tak ada kesiapan dana untuk membayar seluruh biaya pendidikan yang dibutuhkan.

Tak ingin hal itu terjadi, Perencana Keuangan Mitra Rencana Edukasi (MRE) Andy Nugroho mengatakan dana untuk memenuhi biaya pendidikan anak sejatinya memang harus dipersiapkan sejak jauh-jauh hari. Khususnya, bagi orang tua yang mendambakan buah hatinya menempuh pendidikan di perguruan tinggi favorit.

"Idealnya, sejak anak lahir, orang tua mulai mencicil tabungan yang diperlukan untuk biaya pendidikan anak hingga tingkat tertinggi," ucapnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (22/3).


Ketika sudah merancang mimpi, orang tua, katanya, perlu memperkirakan berapa biaya pendidikan yang bakal dibutuhkan di perguruan tinggi. Ambil contoh, saat ini uang pangkal perguruan tinggi sekitar Rp50 juta.

Dengan besaran biaya tersebut orang tua perlu memperkirakan berapa jumlah uang pangkal sekitar 17-18 tahun ke depan. Asumsikan uang pangkal akan mencapai Rp150 juta.

Dengan besaran tersebut, dalam waktu 17-18 tahun anggaplah orang tua harus mengumpulkan Rp10 juta per tahun untuk biaya kuliah anak. Dari kewajiban menabung itu, sambungnya, orang tua kemudian perlu mengerucutkan strategi untuk mencapai nominal tersebut.

Termasuk, soal instrumen keuangan apa yang akan mereka gunakan. Sebab, menurut Andy, biaya pendidikan itu tak bisa hanya dipenuhi dari gaji yang bertahun-tahun disisihkan tanpa ada campur tangan dari hasil investasi.

"Kalau hanya dari tabungan, saya tidak yakin itu tertutup," imbuhnya.

Dari sisi instrumen keuangan, Andy mengatakan instrumen paling sederhana yang bisa digunakan adalah tabungan pendidikan dari perbankan nasional. Biasanya, skema yang ditawarkan adalah menarik sejumlah dana dari rekening pribadi orang tua untuk disimpan di rekening lain dalam jangka waktu sekian tahun.

Dana tersebut tidak bisa 'diutak-atik' hingga jangka waktu tabungan berakhir. Ia bilang instrumen ini sebenarnya cukup ampuh untuk menjaga kedisiplinan orang tua dalam menabung biaya pendidikan.

Sayangnya, imbal hasil (return) dari instrumen keuangan ini biasanya tidak terlalu besar. Bahkan, kadang tidak jauh berbeda dengan bunga deposito bank sekitar 5-6 persen.

"Tapi kalau orang tua ingin pakai instrumen ini karena aman, sarannya tinggal pilih-pilih tabungan pendidikan dari bank mana yang paling menarik dan menguntungkan," katanya.


Di sisi lain, Andy menyarankan agar orang tua mengutamakan tabungan pendidikan yang sudah menyertakan proteksi asuransi di dalam instrumen tersebut. Tujuannya, agar ketika sewaktu-waktu orang tua sakit atau meninggal dunia, tabungan tersebut tetap terjamin kelangsungannya dan bisa dimanfaatkan oleh anak.

Selain tabungan pendidikan, Andy mengatakan instrumen investasi lain yang bisa diambil untuk mempersiapkan biaya pendidikan adalah lahan dan properti. Pasalnya, aset lahan dan properti biasanya cocok untuk 'ditimbun' cukup lama, meski awalnya mungkin membutuhkan modal yang tak kecil.

"Properti sebenarnya tidak begitu likuid, sulit untuk dicairkan, tapi kelebihannya pertumbuhan return bisa saja lebih tinggi, apalagi kalau properti berlokasi di tempat strategis atau bakal terkena proyek," ungkapnya.

Kemudian, instrumen investasi lain yang bisa dijadikan pilihan untuk menambah persiapan biaya pendidikan, yaitu reksa dana, logam emas, dan saham. Untuk reksa dana, ia menyarankan orang tua mengambil jenis reksa dana campuran dan saham.

Ia mengatakan dua pilihan tersebut menawarkan imbal hasil yang tinggi dalam jangka panjang. Begitu pula dengan emas.

"Tapi kalau berani, bisa main saham, returnnya bisa saja lebih tinggi, meski berisiko," ujarnya.

Senada, Perencana Keuangan dari Tatadana Consulting Tejasari Assad mengatakan persiapan biaya pendidikan harus dilakukan sejak jauh-jauh hari. Namun, bila orang tua benar-benar tidak bisa menabung atau baru bisa menabung jelang 2-3 tahun masa kuliah anak, maka pemilihan instrumen investasi sangat menentukan pengumpulan biaya pendidikan.

Menurutnya, bila waktu sudah 'mepet', maka instrumen reksa dana pasar uang dan pendapatan tetap bisa jadi pilihan utama. Teja bilang, meski imbal hasil yang ditawarkan tidak terlalu besar, namun untuk kebutuhan 'mepet', instrumen ini sangat aman alias minim risiko.

"Jadi kalau pun kenapa-kenapa, justru tidak menimbulkan masalah baru atau tidak malah membuyarkan fokus menabung untuk kuliah anak karena sudah pasti aman, terus meningkat," jelasnya.

Selain reksa dana, ia menyarankan orang tua untuk mengambil surat utang yang ditawarkan pemerintah, baik Surat Berharga Negara (SBN) maupun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) alias sukuk. Pasalnya, imbal hasil yang ditawarkan cukup tinggi, misalnya saat ini ada di kisaran 8 persen hanya dalam 2-3 tahun kepemilikan.

"Sedangkan yang harus dihindari adalah reksa dana campuran dan saham, serta trading saham itu sendiri. Soalnya tinggi risiko. Begitu pula dengan properti, untuk jangka pendek, ini tidak likuid, butuh waktu jualnya," tuturnya.


sumber: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190325202646-83-380603/mempersiapkan-uang-kuliah-anak-sejak-dini
Share:

Recent Posts