Foto: Grandyos Zafna
Di sekolah kami, siswa dilarang membawa gawai ke sekolah. Ada dampak positifnya. Siswa paling tidak jadi fokus pada penjelasan gurunya. Namun, ada juga dampak negatifnya: siswa dijauhkan dari teknologi. Padahal, dengan gawai, siswa bisa mencari informasi alternatif selain dari guru. Sebab, bagaimana pun, informasi jauh lebih melimpah daripada apa yang ada di batang kepala guru. Alangkah membosankan dan kakunya jika ruang kelas dimonopoli oleh guru. Sudah bukan saatnya lagi sistem pendidikan dengan sistem ceramah.
Namun, menyerahkan ruang kelas ke siswa bukan perkara gampang. Siswa sering sangat gagap jika disuruh berdiskusi satu sama lain. "Kami semua tak tahu, apa yang akan kami diskusikan," kurang lebih begitu mereka membela diri. Mereka benar. Maka, maaf-maaf saja, saya sering kali menganggap sepele metode diskusi. Alih-alih efektif, sistem ini kadang malah membuat ruang kelas jadi heboh. Dampaknya buruk: ruang sebelah terganggu, fokus pun terganggu, target pembelajaran pun bisa melempem jauh.
Nah, semestinya, ketidaktahuan siswa ini bisa diatasi apabila mereka bisa mencari informasi dari gawai. Setidaknya, mereka punya bahan awal untuk didiskusikan. Maksud saya, membawa gawai ke sekolah bagi siswa tak seharusnya lagi dilarang. Yang perlu adalah kontrol penuh dari guru agar penggunaan gawai itu tepat guna pada waktu pembelajaran. Bagaimana pun, saat ini segalanya seperti sudah terkemas pada gawai. Mencari makan, tekan tombol gawai; mau berangkat kerja, pilih menu di gawai; kangen pada orang jauh, klik aplikasi di gawai; tersesat di tempat yang asing, bertanyalah pada gawai.
Belum Menyentuh
Gawai menjadi jawaban atas segala kegelisahan kita saat ini. Begitu pun dengan belajar, apa pun definisi belajar itu, gawai bisa jadi jawaban. Mencari informasi, tinggal bertanya pada Google. Atau, mau tahu trik-trik mendetail, tinggal berselancar di Youtube. Barangkali itu semua masih kurang interaktif. Namun, teknologi selalu berkembang pesat. Kini, sudah ada aplikasi terbaru yang membuat pembelajaran jauh lebih kolaboratif dan interaktif. Teman-teman guru yang mau ikut sertifikasi baru-baru ini sudah belajar dari jarak jauh.
Kelasnya dibuat dalam bentuk maya. Tetapi, kelas itu tak benar-benar maya. Mereka saling bertukar pikiran di ruang kelas itu. Kini, aplikasi belajar yang lebih canggih juga sudah muncul meski dalam bentuk bimbel: Ruang Guru. Masih ada beberapa aplikasi lain. Namun, Ruang Guru ini begitu menarik perhatian saya. Pasalnya, ia hadir di hadapan anak-anak kita melalui iklan dan talk show yang mewah di televisi-televisi nasional. Ruang Guru, tak pelak lagi, ibarat produk pada umumnya. Perayaan ulang tahunnya dibuat dengan menghadirkan banyak bintang tamu sekaligus promosi besar-besaran.
Konon, siswa Ruang Guru sudah hampir menyentuh angka puluhan juta siswa. Dan, yang lebih hebat lagi, Ruang Guru juga sudah berhasil melakukan kerja sama dengan 32 dari 34 pemerintah provinsi dan lebih dari 326 pemerintah kota. Maka, jika kini Ruang Guru sudah melatih dan merekrut lebih dari 200.000-an guru, itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Pertanyaannya, apakah ini akan membuat sistem pendidikan kita mengalami disrupsi? Pertanyaan ini sangat masuk akal. Banyak fakta sudah ditunjukkan kepada kita.
Media cetak, misalnya, mulai bertumbangan, transportasi manual sudah ditinggalkan, ritel sudah kesulitan, dan masih banyak lagi. Itu semua karena kini sudah terkemas di gawai. Sekali lagi, pertanyaannya: apakah hal serupa akan terjadi pada pendidikan kita? Kalau terjadi, saya harus mengatakan bahwa ini adalah berita kemunduran dari sistem pendidikan kita. Harus dicatat, saya tak sedang mengutuki kehadiran Ruang Guru. Saya tahu, niat Ruang Guru suci. Paling tidak, pada awal berdirinya, keadaan pendidikan kita begitu menggetirkan.
Peringkat kita di PISA sangat buruk. Dirinci lagi, pada bidang Matematika dan Sains, kita berada di nomor 65. Di ranah literasi, kita jauh lebih mengkhawatirkan lagi. Lebih dari separuh responden kita mendapat skor di bawah level 1 (level paling bawah). Risau atas fakta ini, Belva Devara (alumnus dari dua perguruan tinggi terkemuka AS: Harfard University dan Stanford University) lantas mendirikan Ruang Guru. Motivasinya, Ruang Guru harus hadir mempercepat laju pendidikan. Sebab, konon, menurut survei, untuk bisa membuat siswa Jakarta (bukan Indonesia) agar sama dengan negara-negara Eropa, perlu waktu 128 tahun.
Sayangnya, niat Ruang Guru ini sama sekali belum menyentuh akar masalah pendidikan kita, apalagi membereskannya. Fakta saat ini ketimpangan pendidikan kita teramat tinggi, terutama dalam pembiayaan pendidikan meski pada saat yang sama, kucuran dana untuk pendidikan juga semakin tinggi. Periksalah hasil penelitian Badan Pusat Statistik di mana sebanyak 4,9 juta anak miskin di Indonesia belum mampu mengakses pendidikan. Ini menjadi ironi tersendiri. Betapa tidak, di saat anggaran pendidikan tinggi, di saat itu pula orang terpinggirkan semakin jauh terpinggirkan.
Ketimpangan Akses
Ini bukan main-main. Sekali lagi, periksalah data dari Unicef: hampir setengah dari anggaran pendidikan Indonesia hanya dinikmati sekitar 10 persen penduduk. Bahkan, sekitar 20 persen siswa kaya menerima 18 kali lebih banyak aneka fasilitas daripada 20 persen siswa miskin. Sampai di titik ini saya pikir sudah jelas bahwa akar masalah pendidikan kita adalah ketimpangan akses pendidikan. Jadi, jika merunut pada data di atas, kehadiran Ruang Guru (karena bagaimanapun, Ruang Guru hanyalah bisnis yang kebetulan mengambil label pendidikan), tak akan banyak membantu ketimpangan ini.
Karena itu, selain bisnis, pemerintah kiranya perlu menghadirkan aplikasi serupa yang dikhususkan kehadirannya bagi orang-orang terpencil. Ide ini barangkali konyol. Tetapi, ide ini (meski tak sama persis) pernah diterapkan Prof. Sugata Mitra di New Delhi. Ia melubangi tembok kampusnya dan menanamkan layar monitor serta papan ketik pada tembok. Hasilnya? Ajaib! Meski daerah itu kumuh, namun anak di daerah kumuh itu dapat mengoperasikan komputer secara perlahan, bahkan tanpa pengajar. Artinya apa? Ternyata manusia, jika memiliki akses, akan mampu membelajarkan dirinya sendiri.
Arti yang lebih jauh, kekurangan guru bermutu tak serta-merta menghilangkan pembelajaran bermutu selama masih ada akses yang bermutu. Dan, jangan salah, penerapan Hole-in-the-wall itu konon sudah banyak diterapkan di India dan Afrika Selatan. Jadi, adalah tak mustahil jika pemerintah membuat "Ruang Guru" baru khusus untuk pengabdian dan edukasi, bukan bisnis. Bagaimanapun, karena kini teknologi semakin pesat, pemerintah perlu menghadirkan teknologi ke tengah-tengah masyarakat. Katakanlah ini semacam literasi digital bagi warga-warga terpinggirkan. Kapankah?