Dana bantuan sosial (bansos) digelontorkan tanpa mekanisme pengawasan maksimal. Pengamat mengkhawatirkan uang tersebut tidak digunakan sesuai tujuan, seperti untuk membeli rokok.
Pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Faridatun, menceritakan beberapa tahun yang lalu, seorang lansia mengaku padanya menggunakan uang bantuan sosial untuk membeli rokok.
"(Dia berkata) 'Mbak, aku kalau beli rokok kalau pas dapat PKH thok. Kalau nggak dapat PKH nggak bisa beli rokok," ujar Faridatun.
Faridatun suatu waktu menegur laki-laki itu, yang kini sudah meninggal, dan memintanya memakai uang itu untuk membeli kebutuhan pokok, seperti beras.
- BPJS putus kerja sama dengan puluhan RS, satu juta pasien terdampak
- Menelaah klaim Sri Mulyani di Instagram soal infrastruktur dan kemiskinan
- BPS: Pembangunan Indonesia membaik, tetapi Papua tetap terbawah
Ia menambahkan, sebagai pendamping, ia terus mensosialisasikan pada warga untuk tidak menggunakan PKH untuk membeli rokok atau pulsa.
"Kalau ketahuan, kena sanksi dari saya," ujarnya, menirukan caranya memperingatkan warga.
Ultimatum yang sama juga diucapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam beberapa acara simbolis penyerahan PKH.
Pada Februari lalu, Jokowi memperingatkan warga Cilacap untuk tidak menggunakan PKH untuk membeli rokok, atau kartu mereka akan dicabut.
Korelasi penerima bansos dan perokok
Kepala Departemen Ilmu Ekonomi FEB Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, mengungkapkan hasil studinya yang menunjukkan penerima bansos berkorelasi positif dengan perilaku merokok, dengan efek tertinggi pada penerima PKH.
Studi itu didasarkan pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016 dan 2017 yang menunjukkan perilaku merokok kelompok berpendapatan rendah meningkat lebih cepat dibandingkan dengan pendapatan yang lebih tinggi.
PKH adalah program bantuan tunai bersyarat yang diberikan pada keluarga miskin.
Tahun ini, pemerintah meningkatkan alokasi anggaran PKH dari sekitar Rp19 triliun tahun lalu, menjadi Rp34,4 triliun dengan 10 juta keluarga penerima manfaat.
Dalam konteks ekonomi, ujar Teguh, bantuan tunai akan meningkatkan pendapatan rumah tangga secara langsung, sehingga uang itu mungkin digunakan untuk membeli rokok.
"Yang seharusnya kemarin beli beras, karena udah dikasih duit, bisa switching. Dengan seperti itu, ada kemungkinan peningkatan konsumsi rokok," kata Teguh.
"Jika begitu maka program kurang efektif mencapai sasaran."
Lebih lanjut, Teguh menemukan penerima PKH memiliki peluang 11% lebih tinggi untuk merokok dibandingkan bukan penerima PKH.
Sebelumya, Pusat Penelitian Kementerian Sosial (Kemensos), mengeluarkan data di tahun 2017, yang menunjukkan dana PKH paling banyak digunakan masyarakat untuk biaya pendidikan dan makanan.
Data itu juga menyebut 0,20% bantuan sosial digunakan untuk membeli rokok, meski hal itu dikatakan bersifat kasuistik dan tidak bisa digeneralisasi.
Mengutip dari laporan itu, ibu-ibu yang disurvei mengakui umumnya suami mereka merokok, namun biaya atas kebutuhan itu ditanggung sendiri oleh suami.
Namun, dalam situasi tertentu, ibu-ibu itu terpaksa mengeluarkan uangnya untuk membeli rokok.
"Ya, kadang-kadang susah juga menolak jika suami suruh beli rokok", demikian pengakuan beberapa ibu dalam sesi diskusi di Batam.
Pengakuan lain muncul dalam diskusi kelompok di Lombok Tengah, kata laporan tersebut.
" Ya.. suami kami perokok semua pak, tapi uang beli rokoknya ditanggung sendiri."
Namun pernyataan ini juga ditambah peserta diskusi yang lain dengan mengatakan, "Ya kadang-kadang duit kita juga. Kalau pas duitnya nggak ada, kan kasihan juga".
Ketika dikonfirmasi nilai nominal konsumsi rokoknya, ibu-ibu yang disurvei mengakui mengeluarkan rata-rata Rp15.000 per hari, kata laporan itu.
Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos, Harry Hikmat, mengatakan survei terbaru yang dilakukan Microsave Consulting Indonesia, menunjukkan 68% penerima PKH memiliki anggota keluarga perokok.
"Hal ini menjadi perhatian kami. Ini relatif signifikan," kata Harry.
Apa solusinya?
Teguh Dartanto menyarankan prasyarat tidak merokok atau bersedia berhenti merokok sebagai salah satu persyaratan pemberian Bansos, khususnya PKH dan PIP.
Ia menambahkan, meski membuka peluang disalahgunakan, mekanisme pemberian bantuan secara tunai layak dipertahankan karena lebih baik dibandingkan sistem non-tunai atau dalam bentuk barang, karena biaya distribusinya yang sangat besar.
"Dampak untuk (pengurangan) kemiskinannya jauh lebih besar tunai dibandingkan barang," katanya.
Sementara, karena mekanisme pengawasan penggunaan dana bansos dilakukan oleh para pendamping keluarga penerima PKH, Harry Hikmat, mengatakan akan mulai melarang para pendamping untuk merokok.
Setiap sebulan sekali, para pendamping menemui para penerima bansos dalam program Family Development Session (FDS), di mana mereka memberikan pengarahan pada masyarakat.
"Saya bisa melakukan pelarangan ke pendamping PKH untuk tidak merokok di acara- acara PKH," ujarnya.
Jika ada pendamping yang kedapatan merokok, katanya, mereka akan diberi peringatan, bahkan bisa dipecat jika kedapatan mengulangi perbuatannya.
Sementara, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Vivi Yulaswati, menekankan pentingnya pendampingan dan sosialisasi untuk mengedukasi warga.
Ia mengatakan masih banyak persepsi soal rokok yang menyesatkan, seperti orang yang percaya tidak akan fokus bekerja jika tidak merokok.
"Nudging nggak cuma untuk mengingatkan orang untuk berhenti (merokok). Educate itu lebih penting," ujarnya.
Sementara itu, Peneliti dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Renny Nurhasanah, menawarkan mekanisme insentif dan disinsentif.
Insentif, contohnya, bisa diberikan pada penerima bansos yang berhasil berhenti merokok.
Sementara, mekanisme disinsentif, dapat diberikan pada penerima yang merokok.
"Pemberlakuan pemutusan jika melakukan pelanggaran setelah diberi peringatan, misalnya, tiga kali," ujarnya.
Harry menambahkan kementerian akan merevisi peraturan terkait modul program FDS yang diikuti penerima PKH.
Revisi itu, ujarnya, akan mencakup program edukasi soal rokok juga sanksi jika ditemukan perilaku yang kontraproduktif pada penerima bansos.
Ia berharap revisi itu akan rampung di tahun 2020.