Seorang penjual sayur, korban kekerasan rumah tangga, mengkampanyekan risiko pernikahan anak sambil mendorong gerobak jualan, langkah yang membantu menurunkan angka perkawinan dini.
Pernikahan anak berlangsung secara turun temurun di dua pulau kecil Desa Mattiro Uleng, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan.
Namun beberapa tahun terakhir, tradisi itu perlahan ditinggalkan berkat kampanye risiko pernikahan di bawah umur yang digelorakan Indotang, pedagang sayur yang menjadi aktivis pencegah pernikahan anak.
"Dulu saya korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga)," ujar Indotang, yang selama dua belas tahun terakhir membesarkan anak perempuan satu-satunya sendirian, setelah menceraikan sang suami delapan bulan usai ia melahirkan.
- Pernikahan usia anak di Sulawesi Selatan: 'Berikan ijazah, jangan buku nikah'
- Kisah-kisah anak yang menikah dini di kamp pengungsian Palu: 'Nangis, kecewa'
- Pelecehan seksual yang dialami anak penyintas gempa dan tsunami Palu: Percobaan perkosaan sampai pengintipan di kamar mandi
Indotang, yang menikah di usia 18 tahun, bukan korban pernikahan anak. Namun, pengalamannya ketika berada dalam ikatan perkawinan yang tidak sehat, berbagai kisah pilu kasus pernikahan di bawah umur yang didengarnya, hingga mimpi untuk melihat anak perempuan semata wayangnya hidup lebih baik, cukup untuk membuatnya berempati dan tergerak untuk menghentikan siklus tersebut.
"Saya bertekad, kalau ada begitu (pernikahan usia anak), saya akan menghapuskannya supaya ke depannya tidak ada lagi," ujarnya lantang.
Berdagang sayur sambil kampanye
"E cakalang e, panasa lolo, boddo-boddo, lawi-lawi, tempe, tahu..." pekik Indotang sambil mendorong gerobak birunya yang dipenuhi beragam jenis sayur dan lauk pauk, satu sore pertengahan Juli lalu saat BBC News Indonesia mengunjungi kampung halamannya di Pulau Kulambing, Desa Mattiro Uleng, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.
"Kalau ndak pagi, jam-jam tiga begini banyak ibu-ibu yang kumpul di luar rumah," ujar Indotang, dengan dialek Bugis, menjelaskan alasannya berjualan sayur di sore hari, "biasanya untuk siapkan makan malam."
Benar saja, belum jauh kami berjalan dari rumah Indotang yang berada di pinggir pantai, beberapa perempuan tampak berkumpul sambil bercengkerama santai di halaman depan. Mereka mulai menghampiri Indotang saat ia menghentikan gerobaknya di depan rumah mereka.
Sembari menawarkan barang dagangannya, Indotang langsung mengeksekusi misi keduanya: mengampanyekan risiko pernikahan usia anak kepada para pembeli.
"...Jangan dulu menikahkan anak (di bawah umur), karena itu akan berdampak pada kita sebagai orang tua," tuturnya akrab sambil membungkuskan sekantong kecil ikan teri untuk salah satu pelanggannya.
Selepas itu, Indotang mendorong lagi gerobak sayur ke gang berikutnya, "e cakalang e, pao lolo, utti, bonte…" teriaknya lagi menjajakan ikan dan sayur mayur.
Sekelompok warga kembali mengerubuti gerobak Indotang. Kampanye pun berlanjut.
"...(Pernikahan anak) berisiko pada alat reproduksi anak perempuan kita, beda kalau dengan anak laki-laki, itu tidak apa-apa," beber Indotang sambil memilihkan ikan cakalang yang paling segar untuk salah seorang pembelinya.
"Jangan seperti dulu, masih memakai adat bahwa kalau anak kita tidak dinikahkan, tidak ada lagi yang akan melamar. Sekarang sudah zaman now, bukan zaman dulu," imbuhnya disambut tawa sejumlah pembeli.
'Wejangan' itu ia sampaikan setiap hari, setiap kali bertemu warga yang berbelanja sayur di gerobaknya. Sebagian bahkan tampak tak lagi mendengarkan seksama pesan yang tak henti-hentinya diulang Indotang sejak lima tahun lalu.
Meski demikian, hal itu ia anggap efektif untuk mengingatkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya pernikahan di bawah umur yang sudah menjadi tradisi di Mattiro Uleng.
"Kan memang dulu adat istiadat itu kan masih berlaku," ujarnya, "dia menganggap sepele (pernikahan usia anak), karena tidak tahu risikonya apakah ini berdampak kepada anak atau kita."
Indotang ingin para orang tua lebih memedulikan nasib anak-anak mereka yang dinikahkan di kala fisik dan mental mereka belum 'matang'.
Tak jarang, pernikahan itu tak hanya dilangsungkan karena budaya yang mereka yakini - yang menganggap pamali jika menolak rezeki berupa lamaran orang lain - tetapi juga akibat faktor ekonomi.
"Banyak juga yang beranggapan begini: kalau saya mengawinkan anak perempuan saya, itu kan keluar dari beban saya, sudah kurang lagi beban (ekonomi) saya.
"(Tetapi) yang menanggung risiko kan anak, misalnya terjadi KDRT, dia berpisah, bercerai. Kan minimal anak perempuan yang jadi korban, terus orang tua juga tidak mungkin kan tidak ada penyesalan," imbuhnya mencontohkan.
Perlahan meninggalkan praktik perkawinan anak
Indotang mulai aktif berkampanye lima tahun lalu. Ia bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam isu kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan bernama Sekolah Perempuan Pulau.
Masa-masa awal dirinya mengampanyekan risiko pekawinan anak tidak mudah, sebab sebagian warga menolak pesan yang dibawanya.
"Dulu-dulu banyak juga yang kayak 'apa itu (risiko pernikahan usia anak)? Dia kan anakku (bukan anakmu)', itu jadi tantangan buat saya," imbuh Indotang.
Dua tahun pertama, akunya, ia dan LSM tempatnya bernaung sempat dituduh macam-macam oleh warga dan tokoh masyarakat.
"Kita dulu dikata-katai aliran sesat," ujar Indotang.
Namun, perlahan sikap masyarakat berubah setelah ia duduk bersama dan menjelaskan tujuannya.
Sejak tiga tahun terakhir, sebagian besar masyarakat tidak keberatan dengan aksi Indotang yang berjualan sayur sambil berkampanye. Beberapa justru mengaku apa yang disampaikan Indotang bermanfaat.
Seperti Sapiana, warga Pulau Kulambing yang punya anak perempuan yang masih duduk di kelas satu SMA. Ia mengaku bahwa anaknya pernah dilamar sepupunya sendiri saat masih duduk di bangku SMP.
Saat lamaran tiba, Sapiana otomatis teringat risiko pernikahan usia anak yang kerap didengarnya dari mulut Indotang saat ia berjualan.
"Selalu kuingat itu pesan-pesannya (Indotang)," tuturnya, "ada cerita (pernikahan anak) di bawah umur (yang jadi) sakit-sakitan, sempat bilang (soal) dampaknya di belakang."
Ia lantas memutuskan untuk menolak lamaran tersebut.
"Saya kasih tahu saja (pelamarnya), 'tunggu, dia kan baru tamat SMP. Tunggu tamat SMA dulu, kalau ada jodohnya bisa ketemu lagi'," ungkap Sapiana.
Ucapan Indotang juga terngiang di benak Nada, warga lainnya.
Berbeda dengan Sapiana, Nada sudah terlanjur menikahkan anak perempuannya yang berusia 17 tahun.
"Bapaknya ndak ada, jadi saya nikahkan lebih cepat, karena ada yang lamar," imbuhnya.
Meski demikian, Nada mengaku tidak akan melakukan hal yang sama terhadap anak perempuannya yang lebih kecil setelah mendengar berbagai kisah dari Indotang.
Ia berharap mampu menyekolahkan anaknya hingga lulus SMA.
"Maunya saya sih menyekolahkan," tutur Nada, "karena berbahaya juga untuk janinnya kalau (menikah) masih muda."
Gotong royong cegah pernikahan di bawah umur
Upaya Indotang bertahun-tahun tidak sia-sia.
Satu per satu tokoh masyarakat setempat yang sebelumnya memandang sebelah mata kampanyenya, justru kini berbalik menyokongnya.
Salah satu tokoh masyarakat yang mendukung Indotang sejak awal adalah Tepo. Ia yang menjembatani Indotang dengan para tetua dulu.
Tepo mengaku bahwa ia sudah sejak dulu menentang pernikahan usia anak.
Meski mengakui adanya aspek tradisi dalam praktik tersebut - bahkan ia menyebut adanya budaya perjodohan oleh orang tua dari sejak anak mereka masih berada dalam kandungan - Tepo menilai faktor ekonomi lah yang mendorong suburnya pernikahan usia anak di desa Mattiro Uleng.
"(Kondisi) ekonomi (yang) tidak mampu sehingga terjadi seperti itu (pernikahan usia anak). Menurut pandangan saya, mulai dari dulu sampai sekarang ya ekonomi (penyebabnya)," tutur Tepo yang kini sudah berada di usia senja.
Ia juga memahami bahwa pernikahan anak berarti "merampas hak anak-anak".
"(Sayangnya) orang boleh dikatakan mau menempuh pendidikan, tapi apa boleh buat, (ada) hak orang tua (untuk menikahkan), jarang anak menolak," imbuhnya.
- Kasus pernikahan anak di tenda pengungsian Kota Palu dan sekitarnya seperti 'gunung es'
- Apakah pernikahan anak di bawah umur benar-benar terjadi setiap tujuh detik?
- Pernikahan anak berusia 11 tahun, jadi istri ketiga, picu kemarahan di Malaysia
Alasan kondisi ekonomi sebagai biang keladi juga diamini oleh tokoh masyarakat lainnya, Alimaphan.
Imam Desa Mattiro Uleng itu menganggap bahwa aspek lemahnya ekonomi masyarakat berperan besar terhadap langgengnya praktik pernikahan anak di pulaunya.
"Kalau lagi bapaknya (pengantin anak perempuan) ndak ada kerjaan, susah cari uang, (lalu) tiba-tiba ada yang melamar gitu, lihat orangnya sudah bagus, sudah ada pekerjaan, ya tinggal terima (lamarannya)," paparnya.
Sekarang, Alimaphan juga ikut mengampanyekan pencegahan pernikahan anak di sana. Baik ia maupun Tepo, sebagai tokoh masyarakat yang biasanya didatangi para orang tua yang ingin menikahkan anak mereka, selalu mengingatkan agar usia para pengantin harus sudah dewasa.
"Kalau memang ada yang, istilahnya orang sini, mak duta (melamar), tolong lihat umurnya dulu lah, apa sudah cukup umurnya?" ujar Ali.
Sementara itu, pemerintah desa Mattiro Uleng juga menangkap kekhawatiran Indotang yang berusaha menghentikan siklus perkawinan anak yang turun temurun di sana.
"Sudah ada surat edaran untuk melarang anak usia di bawah umur untuk menikah," ungkap Lukman Jurumiah, kepala desa Mattiro Uleng.
Kepala Desa Mattiro Uleng bersama BPD mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak melakukan: PERNIKAHAN ANAK USIA MUDA YAITU DI BAWAH UMUR 18 TAHUN, bunyi penggalan surat edaran tersebut.
"Pada intinya, imbauan untuk menyadarkan masyarakat bahwa usia anak itu mestinya duduk di sekolah, bukan untuk mengurus rumah tangga," jelas Lukman.
Selain itu, pemerintah desa Mattiro Uleng juga telah bekerja sama dengan sejumlah instansi lain untuk mencegah praktik tersebut.
"Saya sudah sepakat dengan mungkin dari KUA kecamatan bahwa kami tidak akan memberikan surat izin untuk menikah," tuturnya.
Tren pernikahan usia anak di Sulawesi Selatan
Dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang didukung oleh UNICEF tahun 2016 lalu, Sulawesi Selatan - provinsi di mana Desa Mattiro Uleng, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, berada - menduduki peringkat 20 provinsi dengan tingkat prevalensi pernikahan usia anak tertinggi di Indonesia.
Secara kasat mata, ranking itu jauh lebih baik ketimbang provinsi-provinsi tetangga, seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara yang bertengger di posisi lima teratas.
Meski demikian, tren prevalensi perkawinan anak di Sulawesi Selatan tak bisa disebut membaik.
Pasalnya, dari data tersebut, angka prevalensi dari tahun ke tahun masih tidak stabil dan justru meningkat cukup tajam pada tahun 2015.
Di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, data pernikahan anak yang direkam pemerintah berasal dari jumlah laporan dispensasi kawin (pengajuan izin untuk menikahkan anak di bawah umur) di Pengadilan Agama Pangkajene.
Serupa dengan data BPS-UNICEF, selama lima tahun terakhir, jumlah laporan dispensasi kawin yang diterima pengadilan pun tidak stabil.
Menurut Amir Indara, panitera Pengadilan Agama Pangkajene, alasan pengajuan dispensasi oleh orang tua beragam.
"Pada prinsipnya, orang tua mau menikahkan anaknya karena sudah ada yang melamar. Alasannya, dari pada di luar tidak terkontrol, lebih baik dinikahkan," ungkap Amir.
Ia menjelaskan, bahwa sebelum menjalani sidang dispensasi kawin, sebenarnya para orang tua, termasuk anak-anak calon pengantin, diberi pemahaman tentang risiko yang mereka hadapi dengan menikah dini, termasuk risiko bercerai karena belum matangnya kondisi mental pengantin.
Usia minimal perempuan menikah 16 tahun dan laki 19 tahun
"Ada (pengantin anak yang) mengajukan perceraian, karena itu, kelabilan berpikir itu, sehingga ada beberapa yang ujung-ujungnya cerai," bebernya.
Orang tua dan pengantin anak juga disarankan untuk menunda pernikahan hingga memenuhi usia minimal untuk dapat menikah.
Sayangnya, menurut Amir, "cuma satu-dua orang yang seperti itu. Kebanyakan memang, istilahnya, suka sama suka yang paling dominan."
Terkait usia minimal seseorang untuk menikah sendiri, DPR masih memiliki pekerjaan rumah untuk menentukan batas usia minimal perempuan dalam perkawinan hingga akhir tahun 2021.
Hal itu diamanatkan keputusan Mahkamah Konstitusi pada Desember lalu, yang mengabulkan sebagian gugatan uji materi UU 1/1974 tentang Perkawinan.
MK salah satunya memutuskan bahwa perbedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan bisa menimbulkan diskriminasi.
Saat ini, usia minimal perempuan untuk dapat menikah adalah 16 tahun, sementara untuk laki-laki 19 tahun. MK menilai hal itu bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Perlindungan Anak yang mengkategorikan anak sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.