Ratusan mahasiswa Provinsi Papua dan Papua Barat telah meninggalkan berbagai kota tempat mereka mengenyam pendidikan untuk kembali ke daerah asal, sebulan setelah peristiwa di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Asrama Papua di Kota Bandung berada di jalan besar, di sekitar perumahan elite dan perkantoran.
Bangunan asrama milik Pemda Papua ini beberapa bagian atapnya sudah terlihat lapuk dan dinding temboknya tampak terkelupas di sana-sini.
Pada Selasa (10/09), situasi asrama tampak sepi. Tidak tampak ada mobil polisi yang terparkir di sekitar asrama.
Kondisi ini berbeda saat pertengahan Agustus lalu, setelah kejadian di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Kala itu, aparat polisi berseragam terlihat berjaga di sekitar asrama.
"Sekarang mah paling patroli aja, memantau dari sini, lalu pergi lagi," kata Narso Siswanto, pedagang tanaman hias yang tokonya berada persis di seberang asrama mahasiswa Papua.
Nando Billy, salah seorang penghuni asrama, mengatakan beberapa temannya sudah pulang ke Papua.
"Kebanyakan pulang pas libur kemarin," kata Nando kepada wartawan Julia Alazka yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
'Kosongkan Pulau Jawa'
Weak Kosay, anggota Divisi Pendidikan Ikatan Mahasiswa Setanah Papua (IMASEPA), mengatakan sebagian mahasiswa Papua di Bandung dan sekitarnya telah pulang ke Papua.
"Kami semua mau kosongkan Pulau Jawa karena Pulau Jawa anggap kami bukan seperti manusia lagi. Perlakukan hal-hal yang tidak seperti manusia lakukan. Makanya kami beranggapan hidup di atas tanah kami lebih nyaman dibandingkan hidup di daerah orang lain," kata Weak.
Weak mengaku dia dan rekan-rekannya tidak tahan dengan perlakuan aparat, khususnya setelah kejadian di Surabaya.
"Ketika terjadi kasus di kawan-kawan kami di Surabaya, kami di Bandung juga ikut imbasnya. Kami didatangi polisi, ormas di masing-masing indekos, mes-mes, kontrakan yang ada di Bandung."
"Mereka masuk aja, langsung main tanya-tanya sembarang tanpa surat tugas dari kepolisian dan melakukan intimidasi-intimidasi dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang tidak jelas kepada kami maupun adik-adik kami yang lagi di bangku sekolah," papar Weak.
Ketika ditanya apa yang dirinya dan rekan-rekannya lakukan ketika kembali ke Papua, Weak mengatakan, "kami pikirnya nanti belakangan, mau kuliahnya di mana, kan kami pulang punya tujuan juga, kenapa harus kami pulang."
Kemudian, ditanya mengenai kelanjutan beasiswa yang menjadi tumpuan mahasiswa Papua dan Papua Barat untuk mengenyam pendidikan, Weak menegaskan, "Kan kampus selain di Indonesia kan banyak juga untuk beasiswa."
Keputusan untuk kembali ke Papua, lanjut Weak, dibuat tanpa pengaruh dari politisi atau tokoh masyarakat di Papua.
"Kami memutuskan pulang tanpa dari pihak politisi atau pemerintah. Itu kami murni mahasiswa atau siswa dari SD, SMP, SMA, sampai mahasiswa yang ada di se-Indoensia ini."
Eksodus ratusan mahasiswa Papua
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyebutkan bahwa dirinya menerima laporan bahwa lebih dari 800 mahasiswa Papua dan Papua Barat yang pulang.
"Banyak mahasiswa Papua dan Papua Barat yang sedang belajar di daerah-daerah seluruh Indonesia kembali ke Papua dan Papua Barat. Jumlahnya yang dilaporkan sekitar 835," kata Wiranto, Senin (9/9/2019).
"Tapi ini juga akibat dari adanya provokasi, informasi yang tidak benar," tambahnya.
Dia mengatakan, para mahasiswa Papua mendapatkan informasi bahwa apabila mereka tetap belajar di daerah luar Papua dan Papua Barat, maka akan ada ancaman.
Kemudian, keselamatan mereka dikabarkan tak terjamin lantaran adanya kemungkinan balas dendam dan sebagainya.
"Itu kabar burung. Itu hoaks. Hasutan provokasi. Tidak benar," ujar Wiranto.
Bagi para mahasiswa yang telanjur pulang ke Papua, Wiranto mengatakan bahwa pemerintah akan menyiapkan pesawat menuju kota tempat mereka menempuh studi.
"Yang belum kembali [ke tanah asal], tetap lanjutkan studi. Yang sudah kembali, segera balik lagi melanjutkan studi. Panglima TNI menjanjikan dua [pesawat] Hercules untuk mengangkut adik-adik kembali melanjutkan studi," kata Wiranto.
Kepulangan ratusan mahasiswa dari Provinsi Papua dan Papua Barat sejalan dengan isi maklumat Majelis Rakyat Papua (MRP) pada 23 Agustus lalu.
Melalui pengumuman itu, MRP meminta seluruh mahasiswa asal Papua yang belajar di luar pulau untuk pulang dan melanjutkan studinya di Papua.
"Dengan ini menyerukan kepada mahasiswa Papua, bila tidak ada jaminan keamanan dan kenyamanan dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan aparatur TNI/Polri di setiap kota studi, maka diserukan, para mahasiswa untuk dapat kembali melanjutkan dan menyelesaikan studinya di Tanah Papua," bunyi maklumat itu, yang disahkan di Jayapura pada Rabu (21/08).
Kepada BBC News Indonesia, Ketua MRP, Timotius Murib, menjelaskan maklumat itu dikeluarkan setelah pihaknya mendapat aspirasi dari berbagai kelompok saat demonstrasi di Papua, pada 19 Agustus, dua hari setelah insiden di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya.
"Isi maklumat seperti itu, 'apabila merasa tidak nyaman, diteror terus diintimidasi, pulang saja ke kampung mereka'. Jadi tidak sepakat untuk serta merta pulang, tidak. Ini harus diluruskan, bagi mereka yang mendapatkan kekerasan saja," kata Timotius.
Soal nasib para mahasiswa Papua dan Papua Barat yang kembali ke daerah asal, Timotius Murib mengatakan studi mereka akan dilanjutkan di tanah Papua dan biayanya ditanggung pemerintah.
"Ini wilayah Indonesia, tentu saja biayanya ditanggung oleh pemerintah. Anak-anak ini tidak boleh dibiarkan jadi harus ditanggung oleh pemerintah. Pemerintah harus memikirkan, mereka ini pulang karena ada sebab akibat. Ya pemerintah provinsi akan tanggung itu," seru Timotius.
'Pusing mau ditaruh di mana'
Akan tetapi, Gubernur Papua Lukas Enembe mempertanyakan kepulangan ratusan mahasiswa Papua.
"Memang sudah ada imbauan dari kami, saya arahkan waktu itu, kalau di NKRI tidak aman, kami pulangkan. Tapi ini aman, kenapa pulang, untuk apa?" tutur Lukas di Jayapura, sebagaimana dikutip kantor berita Antara, Senin (09/09).
Kini, Lukas mengaku pusing.
"Jadi sekarang ini kami pusing mau taruh mereka (kampus mana). Kami akan panggil Gubernur, MRP dan DPR Papua Barat, Direktur Unima, Rektor Uncen, dan para bupati/wali kota untuk bicara kepulangan mahasiswa dalam jumlah besar tanpa pemberitahuan," ujar Lukas.
Sementara itu, Derek Erari, Wakil Rektor Universitas Papua di Manokwari, mengatakan pihaknya sangat bergantung dengan keputusan menteri mengenai penerimaan mahasiswa Papua dari Jawa dan Sulawesi.
"Kalau Pak Menteri minta kita terima, ya kita terima. Tapi sebenarnya bagi saya kondisi aman kok, kenapa mereka harus kembali? Tapi kami di Unipa sampai saat ini belum ada mahasiswa yang datang ke kami," kata Derek kepada BBC News Indonesia.
Menurutnya, Unipa sudah menerima 2.000 mahasiswa pada tahun ajaran baru yang disebut "sudah maksimal".
Hal senada diutarakan Rektor Universitas Cenderawasih, Apolo Safanpo.
"Sangat kecil kemungkinan mahasiswa yang sebelumnya kuliah di berbagai kota di Indonesia bisa melanjutkan studinya di berbagai perguruan tinggi di Papua," kata Apolo sebagaimana dikutip kantor berita Antara, Senin (09/09).
Menurut Apolo, hal tersebut disebabkan karena daya tampung Uncen sendiri terbatas.
Bahkan untuk saat saja sudah dipaksakan agar dapat menerima 6.000 mahasiswa dari daya tampung yang hanya 4.000 mahasiswa.
Untuk itu, dia mengimbau agar mahasiswa Papua yang kuliah di berbagai daerah untuk tetap menyelesaikan perkuliahan di kampus masing-masing.