'Gerakan Islam eksklusif' tumbuh subur di kampus-kampus negeri, menurut studi NU


HATI dan ribuan warga dari berbagai organisasi lainnya berunjuk rasa di halaman Monas, Jakarta, Juli 2017 silam.Hak atas fotoTUBAGUS ADITYA IRAWAN/PACIFIC PRESS/LIGHTROCKET VI
Image captionHATI dan ribuan warga dari berbagai organisasi lainnya berunjuk rasa di halaman Monas, Jakarta, Juli 2017 silam.

Mantan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto, menyangkal anggota eks-ormasnya terlibat dalam gerakan Islam eksklusif di lingkungan kampus, seperti yang dipaparkan dalam temuan penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (LPPM UNUSIA).
"(HTI) sudah dicabut badan hukumnya, sudah tidak ada kegiatan atas nama HTI," ujar Ismail melalui sambungan telepon kepada BBC News Indonesia.
Penelitian LPPM UNUSIA mengungkap tumbuh suburnya sejumlah gerakan Islam eksklusif - yang juga disebut sebagai Islam transnasional - di sejumlah kampus negeri yang menjadi objek penelitian mereka di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Satu tarbiyah, kemudian yang kedua hizbut tahrir, (sementara) salafi itu minoritas," papar peneliti LPPM UNUSIA, Naeni Amanulloh, dalam pemaparan hasil penelitian timnya, Selasa (26/06).
Menurutnya, penyebarluasan gerakan itu dilakukan melalui pengkaderan di sejumlah lembaga keagamaan kampus.
"Lewat LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Kegiatannya ada AAI, asistensi agama Islam," lanjut Naeni.
Islam eksklusif sendiri dimaknai peneliti sebagai gerakan Islam di kampus yang berkiblat ke organisasi atau paradigma Islam di Timur Tengah. Sebaliknya, gerakan yang merujuk kepada paradigma Islam di Indonesia, dianggap sebagai Islam nasional atau inklusif.

Apa saja temuannya?

Penelitian yang dilakukan sejak Desember 2018 hingga Januari 2019 itu menganalisis aktivitas gerakan tersebut di delapan kampus yang tersebar di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, salah satunya Universitas Gadjah Mada (UGM).
Terdapat sejumlah poin yang jadi pokok temuan LPPM UNUSIA dalam penelitian kualitatif yang mereka lakukan. Pertama yaitu dominasi gerakan tarbiyah di kampus-kampus objek penelitian.
Gerakan tarbiyah yang berkiblat pada Ikhwanul Muslimin di Mesir diyakini bermanisfestasi - salah satunya - dalam bentuk organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Peneliti mengidentifikasi gerakan tersebut mengidealkan penerapan syariat Islam dan berdirinya negara Islam.
"KAMMI itu secara otomatis tarbiyah, tapi tarbiyah itu tidak selalu KAMMI. Jadi cover massa ideologisnya itu lebih besar tarbiyah," tutur Naeni Amanulloh, peneliti LPPM UNUSIA.

Sejumlah perempuan anggota HTI berdemo di Bundaran HIHak atas fotoNURPHOTO/NURPHOTO VIA GETTY IMAGES
Image captionSejumlah perempuan anggota HTI berdemo di Bundaran HI menuntut pembentukan sistem khalifah.

Kedua, gerakan Hizbut Tahrir yang diklaim masih menggeliat dalam diam setelah dibubarkan pemerintah tahun 2018 lalu. Gerakan ini disebut-sebut berada dalam DNA organisasi kemahasiswaan bernama Gema Pembebasan (GP).
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sendiri dinyatakan sebagai ormas terlarang karena terbukti berkeinginan mengubah negara Pancasila menjadi khilafah.
Ketiga, adanya gerakan aliran salafi di sekitar kampus. Meski tidak sepolitis tarbiyah dan hizbut tahrir yang kadernya aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan, aliran ini aktif menggelar kegiatan-kegiatan di masjid sekitar kampus, dengan tujuan untuk memurnikan atau purifikasi ajaran Islam.
Keempat adalah lemahnya gerakan-gerakan mahasiswa yang dianggap membawa gerakan Islam inklusif, seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) di lingkungan kampus.
"Mereka seperti tidak tertarik untuk mengisi ruang-ruang masjid dan menganggap bahwa kayaknya (hal itu) nggak in (populer)," ungkap Okky Tirto, Koordinator Media LPPM UNUSIA.
"Mereka lebih fokus, misalnya, ke BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), ke kegiatan-kegiatan lain, sementara justru sirkulasi gagasan ini adanya di masjid."
Juru bicara UGM, Iva Ariani, sebagai salah satu kampus yang diindikasi terpapar gerakan Islam eksklusif, belum bersedia menanggapi hasil penelitian tersebut.
Namun, melalui pesan singkat, ia menegaskan bahwa sebagai universitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, nasionalisme dan kebangsaan, "mahasiswa UGM sejak masuk menjadi mahasiswa baru, dalam proses perkuliahan, dan saat akan lulus, selalu ditanamkan nilai-nilai tersebut."

Tanggapan eks-HTI hingga KAMMI

Mantan juru bicara HTI, Ismail Yusanto, menyangkal adanya keterlibatan eks-HTI dalam gerakan Islam eksklusif yang dianggap tumbuh subur di lingkungan kampus saat ini, termasuk dalam aktivitas Gema Pembebasan (GP).
"Gema Pembebasan kan bukan urusan HTI. Kan itu namanya saja sudah beda, masa tanya ke saya?" tukas Ismail saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Meski demikian, Ismail tidak menampik bahwa para mantan anggota HTI masih terus beraktivitas. Menurutnya, kini dakwah yang dilakukan eks-anggota HTI tidak lagi berurusan dengan bekas ormas tersebut.
"Mereka punya kewajiban berdakwah yang mereka lakukan. Bagaimana caranya, itu sudah urusan mereka," imbuhnya.

Sejumlah anggota HTI berunjuk rasa di halaman Monas, Juli 2017 lalu, untuk menolak Perppu Ormas yang pada akhirnya digunakan untuk membubarkan ormas merekaHak atas fotoTUBAGUS ADITYA IRAWAN/PACIFIC PRESS/LIGHTROCKET VI
Image captionSejumlah anggota HTI berunjuk rasa di halaman Monas, Juli 2017 lalu, untuk menolak Perppu Ormas yang pada akhirnya digunakan untuk membubarkan ormas mereka

Sofia, bukan nama sebenarnya, adalah salah satu mantan anggota unit kegiatan mahasiswa ITB yang digawangi HTI, HATI (Harmoni Amal Titian Ilmu). Menurutnya, konsep khilafah yang dipermasalahkan berbagai pihak hingga akhirnya menjadi salah satu penyebab dibubarkannya HTI memiliki pengertian yang berbeda saat ia mengikuti kajiannya.
"Satu kepala untuk seluruh umat Islam di dunia," ungkap Sofia mengejawantahkan konsep khilafah yang dipahaminya.
"Kayak Katolik, kan dia berpegang (pada) apa kata paus, (lalu) diikuti. Kalau menurut saya yang orang awam, gitu sih, di Islam perlu ada khilafah.
"Tapi bukan untuk mengganti sistem pemerintahan di Indonesia," paparnya.
Sementara itu, KAMMI atau Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia UGM menyangkal tuduhan bahwa organisasi kemahasiswaan tersebut turut menyebarkan gerakan Islam transnasional.
"Yang selalu dituduhkan ke KAMMI selalu seperti ini dan selalu saya katakan itu tidak benar," tutur ketua KAMMI UGM, Abdurrahman Hanif, melalui pesan singkat kepada BBC News Indonesia.
KAMMI justru menilai penelitian LPPM UNUSIA lebih mengandalkan asumsi serta pendapat subjektif semata, "anti-kebhinekaan itu tidak jelas apa saja parameter dan indikatornya."
Hanif menyebutkan bahwa organisasi yang dipimpinnya terdaftar di Kemenpora dan memiliki hubungan baik dengan pihak kampus. Ia juga menjelaskan bahwa KAMMI memiliki platform "Jayakan Indonesia 2045" sebagai bentuk kecintaan terhadap NKRI.
Meski salah satu visi KAMMI adalah "mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami", Hanif mengaku bahwa frasa itu kerap gagal dipahami berbagai pihak.
"KAMMI berusaha untuk menjadikan Islam menjadi sebuah karakter dan nilai yang luhur, melekat pada kepribadian masyarakat dan bangsa. Jadi, tidak ada maksud KAMMI berdiri untuk mengubah Pancasila ataupun konstitusi negara," jelasnya.
Di sisi lain, mantan ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) UGM yang kini aktif di Pengurus Besar HMI, Raihan Ariatama, mengakui sempat adanya aliran gerakan Islam eksklusif yang cukup masif dulu. Namun menurutnya, gerakan tersebut kini melemah di UGM, setelah diberlakukannya surat keputusan rektor terkait penghapusan AAI (Asistensi Agama Islam) tahun 2014 silam, yang ia klaim menjadi wadah penyebaran gerakan tersebut.
"Waktu itu kita (HMI, red.) disuruh untuk mengelola masjid dan segala macam," tutur Raihan, "(tapi) karena kita jumlahnya sedikit, kita enggak sanggup."
Raihan mengaku bahwa strategi HMI UGM untuk menghalau pergerakan Islam eksklusif memang tidak dilakukan melalui kegiatan-kegiatan di masjid-masjid sekitar kampus. Para anggota mencoba untuk memangkas pengaruh Islam eksklusif melalui kontestasi politik tingkat kampus, yang menurut hasil penelitian LPPM UNUSIA didominasi oleh kelompok tarbiyah dan hizbut tahrir.
"Tiap tahun kan ada pemilihan presiden mahasiswa, senat mahasiswa, kita berlomba di sana untuk menguasai struktur BEM, UKM-nya," ungkapnya.
"Kita ingin mengurangi dominasi mereka karena mereka terlalu eksklusif, yang kedua memang kita harus membuka juga Islam yang inklusif," pungkasnya.

'Mengancam kebhinekaan'

LPPM UNUSIA menilai bahwa keberadaan gerakan-gerakan Islam eksklusif di lingkungan kampus yang hadir secara sistematis melalui berbagai organisasi kemahasiswaan berpotensi mengancam pluralitas kampus negeri.
Ancaman itu, menurut mereka, bisa sesederhana mengimbau mahasiswa Muslim untuk tidak mengucapkan selamat hari raya kepada penganut agama lain, hingga mempermasalahkan kepemimpinan sosok perempuan pada suatu struktur organisasi.
"Otomatis dia akan mengeksklusi orang di luar (paham) mereka, sementara logic dari public university itu kan ruang bagi semua," imbuh Okky.

Koordinator Media LPPM UNUSIA, Okky TirtoHak atas fotoBBC NEWS INDONESIA
Image captionKoordinator Media LPPM UNUSIA, Okky Tirto, khawatir akan munculnya kelas menengah dengan pandangan eksklusif yang bisa membahayakan kebhinekaan.

Ia khawatir apa yang terjadi pada skala universitas bisa berlanjut ke skala yang lebih besar ketika kader-kader tersebut memegang posisi penting di masa depan.
"(Itu bisa) melahirkan kelas menengah baru di republik ini yang cara pandangnya eksklusif dan itu mengancam kebhinekaan," tuturnya.
Ia merekomendasikan agar kelompok Islam inklusif di kampus segera menyadari peran mereka untuk mencegah semakin besarnya gerakan Islam eksklusif dan untuk segera melakukan langkah terukur. Gerakan sistematis dinilai harus dilawan dengan gerakan yang sistematis pula.
"Misalnya mereka mentoring seminggu sekali, ada liqo (pertemuan) seminggu sekali, rutin sampai terbentuk habitusnya, cara berpikirnya, terus tiba-tiba kita hanya melakukan satu diseminasi, sekali, ya enggak bisa," jelasnya.
"Kontranya juga harus mengambil pola yang sama."
Kekhawatiran juga diungkapkan Direktur Eksekutif Wahid Institute, Mujtaba Hamdi, yang hadir dalam diskusi tersebut. Ia mengungkapkan bahwa kehadiran gerakan Islam eksklusif dapat menyebabkan kerusakan pondasi dasar berbangsa.
"Secara public governance, tata kelola publik kita, kita tuh mengayomi semua kelompok. Bayangkan kalau menteri agama tidak mau mengucapkan Selamat Hari Natal, tidak mau mengucapkan Selamat Galungan," tutur Mujtaba.

Ilustrasi sejumlah mahasiswa menggelar kelompok belajarHak atas fotoANTON RAHARJO/ANADOLU AGENCY/GETTY IMAGES
Image captionIlustrasi sejumlah mahasiswa menggelar kelompok belajar

Sementara itu, staf khusus direktur pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Muhammad Suaib Tohir, yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi itu, menyatakan bahwa gerakan-gerakan Islam eksklusif tidak akan berhenti tumbuh. Untuk itu ia berharap hasil penelitian tersebut dapat ditindaklanjuti dengan aksi konket di lapangan.
Meski demikian, BNPT tidak dapat banyak berkontribusi dalam penanganan gerakan Islam eksklusif di lingkungan kampus.
"Kami mendukung, tapi (karena) beberapa hal, kami tidak bisa terlalu intervensi ke dalam, karena itu adalah (masalah) internal kampus," ujarnya.

Share:

Arsip Blog

Recent Posts