Keberadaan rektor asing di perguruan tinggi Indonesia, seperti diwacanakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), tidak menjamin peningkatan peringkat perguruan tinggi Indonesia di dunia, ujar pengamat pendidikan.
Pengamat pendidikan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Andy Ahmad Zaelany, menilai peringkat perguruan tinggi ditentukan sejumlah faktor, di antaranya jumlah publikasi ilmiah, jumlah lulusan, dan ketersediaan sarana-prasarana universitas.
"Kalau ingin memperbaiki peringkat universitas, tentu saja dengan memperbaiki jumlah unsur-unsur yang dinilai tersebut," ujar Andy.
- Pendidikan anak pengungsi Nduga di Papua terbengkalai, pemerintah dan gereja 'harus buka mata'
- Cerita guru honorer di Soleh, Seram mengajar dari kelas dua sampai enam
- Ketika ujian sekolah menimbulkan korban jiwa di berbagai negara dunia
Andy juga menyoroti kualitas akademis rektor dan dosen-dosen di Indonesia, yang menurutnya masih dibebani kewajiban non-akademis, seperti kewajiban membuat laporan administrasi dan menghadiri berbagai seremoni.
"Kalau waktunya banyak tersita untuk kegiatan non-akademis, waktu untuk meningkatkan kualitas pengajaran dan berkonsentrasi untuk menulis publikasi ilmiah menjadi sangat berkurang. Tidak heran jika produktivitas publikasi ilmiah masih rendah," kata Andy.
Berdasakan lembaga pemeringkat perguruan tinggi dunia yang diacu Kemenristekdikti, QS World University Ranking, universitas yang diunggulkan pemerintah, yaitu Universitas Indonesia, berada di peringkat 296.
Universitas lainnya, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), berada di peringkat 300-an.
Posisi ini jauh di bawah sejumlah universitas lain di kawasan Asia, seperti di China, Hong Kong, Korea Selatan.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih sangat tertinggal dari universitas di Singapura dan Malaysia.
'Kenapa harus takut dengan rektor asing?'
Menanggapi pro dan kontra di masyarakat, Kepala Biro Kerja Sama dan Komunkasi Publik Kemenristekdikti, Nada Marsudi, mengatakan pembenahan pengelolaan perguruan tinggi telah dilakukan terus menerus oleh pemerintah.
Sejumlah perguruan tinggi, ujarnya, juga terus memperbaiki kualitas. Buktinya, kata Nada, peringkat UI, UGM, dan ITB terus naik, namun belum bisa masuk ke 100 besar dunia.
"Kenyataannya dia (perguruan tinggi di Indonesia) belum sampai (peringkat 1-100) aja. Kita kalau mau nungguin terus...mau nungguin berapa lama?" ujarnya.
Maka itu, Nada mengatakan kementerian mewacanakan untuk merekrut rektor asing yang berhasil di luar negeri dan dilihat unggul dalam hal berjejaring.
Rektor itu tidak akan sembarangan dipilih, ujarnya, tapi diseleksi ketat dan diberi target yang jelas.
"Kita bukan ingin ambil jalan pintas...Maksudnya di-challenged. Kalau ada rektor asing, mampu enggak perguruan tinggi Indonesia masuk dari 1-100? Sampai sekarang kan belum pernah (ada rektor asing)," ujarnya.
"Kita kan global, borderless, semua orang harusnya bersaing. Kenapa harus ketakutan banget, bagaikan katak dalam tempurung?"
Sebagai bangsa besar yang memiliki 4.700 perguruan tinggi, kementerian berharap mengikuti kisah sukses dari Singapura.
Peringkat Nanyang Technological University (NTU), Singapura, ujarnya meningkat pesat setelah merekrut rektor asing.
Saat ini, kementerian tengah mengkaji regulasi-regulasi yang ada untuk mendukung wacana ini.
'Tidak ada solusi instan untuk meningkatkan peringkat'
Ariel Heryanto, Direktur Herb Feith Indonesian Engagement Centre, Universitas Monash, Australia, mengatakan tidak ada cara cepat untuk meningkatkan peringkat universitas Indonesia untuk sejajar dengan sejumlah negara lain di Asia.
"Pendidikan itu merupakan sebuah investasi besar-besaran berjangka-panjang. Yang perlu dibenahi berlapis-lapis dan banyak aspeknya. Tapi, menurut saya yang paling bertanggung-jawab, dan layak dibenahi adalah visi, strategi dan kebijakan negara di tingkat pusat," kata Ariel.
Masalahnya, ia mengatakan, tidak banyak politikus yang berminat berinvestasi ke pendidikan.
Politik di Indonesia, ujar Ariel, menuntut hasil kerja yang serba instan, maka politikus yang punya visi jauh ke depan, misalnya untuk dua hingga tiga generasi mendatang di bidang pendidikan, bisa jadi dia dianggap tidak berprestasi.
Lebih lanjut, Ariel menyorot apa yang disebutnya sebagai 'kegagalan negara' untuk menghimpun warga yang berprestasi.
"Indonesia memiliki banyak orang cerdas. Mereka sudah terbukti unggul di tingkat dunia secara individual di banyak bidang. Juga di lembaga pendidikan: sebagai mahasiswa, dosen, atau peneliti. Tapi mereka tidak pernah terhimpun secara kelembagaan sebagai sebuah kekuataan raksasa nasional di tingkat dunia," kata Ariel.
"Tidak ada yang mengikat mereka secara sukarela dan gembira. Absennya perhimpunan kelembagaan itu kelemahan utama Indonesia."
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian, mengatakan daripada mengundang rektor asing, lebih baik pemerintah merekrut akademisi-akademisi Indonesia yang berkiprah di luar negeri.
"Sekarang kita 'ambil' saja lagi dengan diberikan insentif yang bagus," ujarnya.
Bisa isi posisi manajerial
Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI), Dwia Aries Tina Pulubuhu, mengatakan pengisian jabatan rektor asing tergantung kesiapan masing-masing universitas.
Jika kampus belum siap dengan standar internasional, keberadaan rektor asing pun tidak akan signifikan, ujarnya.
Dwia mengatakan akademisi asing bisa mengisi posisi manajerial di kampus atau di bawah rektor dari Indonesia.
"(Mereka bisa diminta) mendorong branding universitas sehingga attractiveness-nya naik dan mencari link lebih luas," kata Dwia.
Jika suatu kampus semakin menarik, mahasiswa asing kemungkinan juga akan tertarik belajar di Indonesia. Hal itu akan berpengaruh pada peringkat universitas, ujarnya.