Home »
» Curhat Orang Tua soal Sistem Zonasi PPDB
Ilustrasi zonasi sekolah. (ANTARA FOTO/Maulana Surya)
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 dengan sistem zonasi menimbulkan polemik. Tak sedikit orang tua calon siswa yang mengeluhkan penerapan sistem yang baru berjalan beberapa tahun ke belakang ini. Tapi, tak sedikit pula dari mereka yang mencoba mengapresiasi.
Arina, orang tua siswa asal Bandung Timur, datang ke sekolah tujuan sejak pagi buta demi si buah hati. Demi anaknya yang mau memasuki bangku SMA, dia bahkan rela bolos kerja. "Demi anak mah apa aja deh," kata dia saat bercerita tentang pengalamannya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (20/6).
Arina mendaftarkan anaknya ke salah satu SMA negeri di kawasan Bandung Timur. SMA itu berjarak sekitar 2 kilometer dari kediamannya.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 mengatur tentang PPDB melalui sistem zonasi. Seleksi calon peserta didik anyar memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah.
Arina tetap berada di sekolah sejak pukul 05.30 WIB hingga menjelang petang. Setiap jeda pendaftaran, kata dia, memakan waktu sekitar dua hingga tiga jam lamanya. "Daftarnya susah, kelamaan ngantrenya. Petugasnya kayaknya sedikit."
Hingga saat ini, Arina belum tahu nasib anaknya. Pengumuman, kata dia, kabarnya akan dikeluarkan pada 29 Juni mendatang.
Arina mengapresiasi konsep PPDB 2019 dengan sistem zonasi. Dia sadar bahwa pemerintah bermaksud baik dengan penerapan sistem ini. "Mungkin maksudnya [penerapan sistem zonasi] baik, mau meratakan pendidikan," kata Arina.
Selain itu, penerapan sistem zonasi, menurut Arina, membuatnya lebih mudah untuk mengontrol si buah hati. "Kalau ada apa-apa sebenarnya enak, karena lebih dekat, kan," katanya.
Dengan sistem zonasi, Arina juga bisa mengantar si buah hati pergi ke sekolah setiap pagi sembari pergi bekerja. "Jadinya lebih terkontrol," ucapnya.
Kendati demikian, Arina tetap mengeluh. Diam-diam, dalam hatinya dia ingin menyekolahkan si buah hati ke sekolah favorit yang berada di tengah kota.
"Gimana, ya, yang namanya sekolah favorit itu ya tetap favorit," kata Arina. Dia sendiri merasa tak masalah dengan sistem zonasi, asalkan kualitas pengajar di setiap sekolah disamaratakan. "Guru-gurunya disebar gitu," kata dia.
Senada dengan Arina, Widyani, orang tua calon siswa asal Cimahi, juga ikut mengapresiasi upaya pemerintah dengan menerapkan PPDB sistem zonasi.
"Bagus banget. Jadi enggak ada sekolah favorit. Semua sekolah sama," kata Widyani saat dihubungi terpisah.
Selain soal pemerataan sekolah, Widyani juga merasa sistem zonasi yang telah diberlakukan selama beberapa tahun ke belakang ini lumayan ampuh mengurai kemacetan.
Misalnya saja, Widyani mencontohkan, kawasan sekitar salah satu sekolah favorit di bilangan Cihampelas, Bandung, yang kerap macet lantaran banyaknya hilir mudik kendaraan masuk dan keluar sekolah.
Dia menduga, terurainya kemacetan di kawasan Cihampelas salah satu pasalnya disebabkan oleh sistem zonasi yang berlaku. "Kayaknya, sih, karena sekarang yang sekolah di sana, ya, orang-orang sekitar aja. Enggak perlu pada bawa kendaraan," ujarnya.
Begitu juga dengan dirinya yang baru mendaftarkan si buah hati ke sekolah yang berjarak kurang dari satu kilometer dari kediamannya. "Dekat banget. Enggak perlu ribet kalau mau ke sekolah," kata dia.
Meski demikian, bukan berarti tak ada kritik yang dilancarkan Widyani. Dia merasa sistem zonasi belum siap betul. Jumlah sekolah dan jumlah anak usia sekolah, dilihatnya tak sebanding. "Jadinya rebutan banget, kan," katanya.
Dia berharap pemerintah bisa lebih mematangkan lagi sistem zonasi yang diberlakukan saat ini. Baik itu dengan menambah sekolah di beberapa kecamatan yang minim sekolah negeri, juga dengan pemerataan penyebaran staf pengajar.
sumber: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20190620202124-284-405114/curhat-orang-tua-soal-sistem-zonasi-ppdb
hi.